RUU Larangan Minuman Beralkohol kembali masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2015. Sebelumnya, dengan dorongan oleh Fraksi PPP, RUU ini juga pernah diusulkan dan dibahas tingkat 1 DPR periode sebelumnya, namun karena terbatasnya waktu belum sampai dibahas lebih lanjut bersama pemerintah. Pada periode kali ini, DPR (fraksi PPP dan PKS) kembali mengusulkan RUU tersebut dan disetujui sebagai satu dari 37 RUU yang masuk prolegnas prioritas tahun 2015. RUU ini terdiri dari 22 pasal dengan judul RUU Larangan Minuman Beralkohol, namun isinya sebetulnya mengatur secara khusus tindak pidana alkohol.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berpendapat, dengan melihat substansi dan perumusannya maka bisa dipastikan, jika RUU ini disahkan, akan menimbulkan ancaman overcriminalisation, atau kriminalisasi yang berlebihan. Bila dicermati lebih jauh maka RUU ini secara tegas mempersamakan alkohol seperti layaknya narkotika. Hal terlihat dalam ketentuan dalam Pasal 5 yang melarang menjual dan membeli minuman, mengedarkan minuman beralkohol baik secara langsung maupun tidak langsung; meminum minuman alkohol atau yang mengandung alkohol; menyimpan minuman baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.
Kebijakan yang overkriminalisasi ini akan membebani aparat penegak hukum untuk implementasinya termasuk, Polisi, jaksa penuntut, pengadilan bahkan Lapas, yang saat ini masih terbebani atas berbagai perkara pidana lainnya. Memidanakan pembuat, pengedar, pembeli, penjual, peminum dan penyimpan minuman beralkohol jelas akan menambah permasalahan keempat aparat penegak hukum tersebut.
ICJR juga mengkritik ancaman pidana dalam RUU ini yang berlebihan dan terlalu dipaksakan. RUU mengolongkan atau mengklasifikan golongan alkohol (Pasal 4). Ancaman pidana tertinggi digunakan bagi melarang menjual dan membeli minuman, mengedarkan minuman minimal 2 tahun dan maksimal 10 tahun dengan denda 200 juta sampai dengan 1 miliar rupiah (Pasal 11). ICJR menyatakan ketentuan dalam KUHP masih sangat mampu digunakan, dan lebih sesuai dengan konteks Indonesia, sayangnya ketentuan dan pasal-pasal KUHP ini justru sangat jarang digunakan secara konsisten.