Merespons peristiwa bom dan serangan di kawasan Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan melakukan langkah-langkah kebijakan terkait politik hukum nasional. Awalnya Luhut Binsar Pandjaitan menilai perlu menyusun Perppu namun kemudian merivisnya kembali bahwa tidak perlu ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengatasi persoalan terorisme. Akhirnya Presiden Joko Widodo memutuskan memperkuat upaya pencegahan aksi terorisme dengan merevisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada akhir Januari 2016, Pemerintah kemudian memfinalkan RUU Pemberantasan Terorisme dan di Februari 2016 pemerintah menyerahkan naskah rancangan tersebut kepada DPR.
Dalam naskah tersebut beberapa muatan baru dalam RUU coba di rumuskan yakni :
No | Muatan | Pasal |
1 | Perluasan tindak pidana terorisme | 6, 10 A, 12 A, 12 B, 13 A, 14, 15 |
2 | Terorisme anak | 16A |
3 | Penahanan | 25 |
4 | Penangkapan | 28 |
5 | Penelitian berkas perkara | 28A |
6 | Alat bukti | 31 |
7 | Pemeriksaan saksi | 32 |
8 | Perlindungan apgakum | 33 |
9 | Penanggulanmgan dan deradikalisasi | 43A 43B |
10 | Ketentuan Peralihan | 43 C, 46 A |
Sumber: ICJR berdasarkan RUU versi 29 Januari 2016
Ada 3 persoalan krusial dalam rancangan pemerintah tersebut yakni:
Pertama, soal hukum pidana materil, perluasan tindak pidana terorisme dan ancaman pidana baru. Muatan dalam revisi ini memperluas beberapa tindak pidana yang sudah diatur dalam UU Terorisme sebelumnya dan memasukkan beberapa pengaturan baru seperti ikut serta dalam pelatihan – pelatihan yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme, ikut perang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme, mengadakan hubungan dengan orang lain baik di dalam maupun di luar negeri terkait Tindak Pidana Terorisme di Indonesia atau di negara lain dan beberapa perluasan lainnya diatur. Tidak hanya itu, Revisi ini juga masih mempertahankan hukuman mati sebagai selah satu ancaman pidana, dibarengi dengan penggunaan pidana minimum untuk mengunci putusan hakim, serta yang paling kontroversial adalah memperkenalkan pencabutan kewarganegaraaan untuk beberapa tindak pidana.
Kedua, Soal Hukum Acara Pidana yang akan diterapkan, Revisi ini memperkenalkan ketentuan yang sangat efektif dalam melakukan penegakan hukum tapi minim memperhatikan konteks hak-hak dari tersangka dan terdakwa. Hal nyata yang terlihat adalah Revisi ini menghilangkan beberapa ketentuan kontrol terhadap kewenangan aparat penegak hukum, sepeti izin hakim dalam melakukan penyadapan dan masih diperkenalkannya penahanan in communicado selama 6 bulan. Hal lain yang perlu menjadi sorotan nantinya adalah Revisi ini memberikan rentang waktu yang begitu lama dan cenderung tidak wajar dalam melakukan penangkapan yang mencapai 30 hari dan penahanan pra-persidangan yang mencapai 450 hari lamanya.
Ketiga, soal minimnya hak korban terorisme, muatan dalam revisi tersebut ternyata tidak menyentuh secara detail mengenai soal pengaturan terkait hak-hak korban terorisme. Tertangkap kesan jika RUU ini lebih menyoroti soal pelaku terorisme, baik dari segi hukum materil, hukum acara bahkan soal pemidanan sampai dengan program deraradikalisasi. Hal ini menjadi keprihatinan karena dalam praktiknya justru korban terorisme di Indonesia dalam situasi yang minim perhatian
Unduh DIM Disini
Unduh Draft Perppu 28 Januari 2016 Disini
Unduh Draft RUU 29 Januari 2016 Disini