Pemerintahan Presiden Joko Widodo merekomendasi mekanisme komuitasi hukuman dari pidana mati menjadi pidana seumur untuk terpidana mati apabila tidak ada eksekusi selama 10 tahun lewat RKUHP. Apabila serius dengan komitmen ini, Presiden harus segera putuskan komutasi hukuman bagi 43 terpidana mati.
Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, mulai dari tuntutan, putusan hakim dan tracking media yang diolah ICJR, ditemukan bahwa sepanjang 20 tahun reformasi (1998-2018) terdapat 393 kasus pidana mati di Indonesia baik dalam tuntutan jaksa dan/atau putusan hakim. Pemerintahan Presiden Joko Widodo tercatat sebagai pemerintahan dengan jumlah tuntutan mati paling banyak, yaitu 181 perkara, dengan jumlah terbanyak pada tahun 2015 sebanyak 84 kasus dituntut dengan pidana mati. Dari tuntutan tersebut, 103 Kasus diantaranya diputus Pidana Mati oleh Hakim. Sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, 18 orang telah dieksekusi mati dalam 3 gelombang selama hampir 4 tahun pemerintahannya (18 Januari 2015, 29 April 2015, dan 26 Juli 2016).
Saat ini, Indonesia adalah 1 dari hanya 56 negara yang masih mengatur pidana mati sebagai hukuman dalam sistem peradilan pidananya. Indonesia juga tercatat sebagai 1 dari 33 negara/teritori di dunia yang masih memberlakukan pidana mati sebagai hukuman bagi tindak pidana narkotika. Sedangkan total negara yang telah menghapus pidan mati dalam hukum dan praktik telah mencapai 142 negara.
Di sisi lain, Pemerintah Presiden Joko Widodo lewat Tim perumus RKUHP menghadirkan “Indonesian way” pidana mati dalam Rancangan KUHP dengan mengatur bahwa pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Dengan mekanisme ini Pemerintah merekomendasi bahwa pidana mati dapat diubah lewat keputusan presiden jika selama 10 tahun terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji dan tidak ada. Pidana mati juga secara otomatis diubah oleh keputusan presiden jika 10 tahun sejak grasi ditolak tidak dilakukan eksekusi.
Berdasarkan data yang diolah ICJR dari Dirjen Pemasyarakatan, sampai dengan Oktober 2017 terdapat 165 terpidana mati dalam masa tunggu eksekusi tanpa kepastian. 43 diantara telah menjalani masa pidana di pemasyarakatan selama lebih dari 10 tahun. 30 Terpidana mati telah menjadi masa pidana selama 11-15 tahun, 10 terpidana mati telah menjadi masa pidana selama 16-20 tahun, 1 orang selama 21-25 tahun. Bahkan terdapat 1 terpidana mati yang telah divonis pidana mati selama 35 tahun 3 bulan mencapai usia 80 tahun di dalam pemasyarakatan.
Total Death Row Per Oktober 2017 | Masa tunggu lebih dari 10 tahun | Masa tunggu 11-15 tahun | Masa tunggu 16-20 tahun |
165Terpidana mati | 43Terpidana mati | 30Terpidana mati | 1Terpidana mati |
Jika pemerintah berkomitmen untuk mengatur pidana mati dengan jalan jaminan perubahan pidana mati setelah masa tunggu 10 tahun, maka Pemerintah Presiden Joko Widodo harus terlebih dahulu mengeluarkan keputusan Grasi bagi ke-43 terpidana mati dengan masa tunggu yang telah dijalani lebih dari 10 tahun. Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan pada 2012 telah menyatakan bahwa fenomena “masa tunggu eksekusi pidana mati” adalah salah satu bentuk perlakuan tidak manusiawi yang melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia. Indonesia merupakan negara pihak konvensi ini dan telah meratifikasi konvensi ini lewat UU No 5 tahun 1998 pada 28 September 1998. Indonesia telah berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, termasuk di dalamnya masa tunggu eksekusi pidana mati.
Selain itu, lewat universal periodic review (UPR) pada Mei 2017, Indonesia menerima 2 rekomendasi terkait dengan pidana mati, yaitu:
- to consider establishing a moratorium on executions/ untuk mempertimbangkan moratorium pelaksanaan eksekusi hukuman mati
- to ensure the right to a fair trial and the right to appeal for persons sentenced to death/ untuk memastikan hak atas peradilan yang adil dan hak untuk mengajukan pengujian hukuman bagi terpidana mati
Dalam pandangan ICJR, tidak ada alasan bagi Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk melaksanakan eksekusi pidana mati. Jika benar ide untuk mengatur pidana mati sebagai pidana alternatif dengan jalan “Indonesian way” maka, Presiden harus terlebih dahulu mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengubah hukuman bagi 43 terpidana mati dengan masa tunggu diatas 10 tahun. Fenomena death row dengan ketidakpastian telah menghasilkan pelanggaran Hak Asasi Manusia lanjutan bagi terpidana mati, menimbulkan trauma psikis terpidana mati dan penurunan kualitas kesehatan terpidana mati.
Atas dasar hal tersebut, ICJR meminta kepada Pemerintah Presiden Joko Widodo:
- Memastikan kebijakan untuk melakukan moratorium pelaksaan eksekusi pidana mati kepada Jaksa Agung
- Menjamin dan memastikan hak atas peradilan yang adil terpenuhi dalam setiap peradilan dengan merekomendasikan Jaksa Agung untuk tidak menuntut pidana mati
- Mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengkomutasi hukuman pidana mati terhadap terpidana mati yang sudah menjalani masa tunggu lebih dari 10 tahun sebagai langkah nyata presiden untuk menghormati Hak Asasi Manusia
—-
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabe
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan