Melihat dari rekomendasi Komite Hak Anak PBB, Indonesia yang tunduk pada Konvensi Hak Anak harusnya memperhatikan kemungkinan menaikkan batas pertanggungjawaban minimum menjadi minimal 14 Tahun
Pasal 1 angka 3 UU SPPA memberikan batas usia minimum pertanggungjawaban bagi anak pada usia telah menginjak 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun. Penentuan usia 12 tahun didasarkan pada Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010 yang dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Hal yang perlu menjadi catatan adalah apakah usia 12 tahun masih sesuai dengan perkembangan hukum pidana anak saat ini ataukah sudah saatnya Indonesia melakukan revisi pada usia minimum pertanggungjawaban pidana pada anak.
Melihat pada Kesimpulan Pengamatan Komite Hak Anak PBB terhadap Laporan Indonesia Periodik Ketiga dan Keempat (Concluding observations on the combined third and fourth periodic reports of Indonesia) atau yang disebut Kesimpulan Komite, disebutkan bahwa Komite menyambut penerapan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), meningkatkan usia minimum pertanggungjawaban pidana dan memprioritaskan penggunaan keadilan restoratif. Namun, Komite menggarisbawahi penetapan usia minimum pertanggungjawaban pidana yang masih rendah yaitu usia 12 tahun.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa Indonesia perlu untuk memperhatikan kesimpulan dari komite tersebut. Apabila dilihat dari perjalanan rekomendasi komite, berdasarkan Komentar Umum No. 10 (2007) tentang hak-hak anak dalam peradilan anak, Komite telah merekomendasikan peningkatan usia minimum pertanggungjawaban di angka 14 Tahun. ICJR melihat bahwa meningkatkan usia minimum pertanggungjawaban anak perlu dilakukan melihat beberapa alasan yang cukup kuat.
Pertama, Anak memiliki hak untuk tumbuh kembang berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, usia 12 Tahun merupakan usia yang masih masuk dalam kategori pendidikan dasar, yang juga merupakan titik penting bagi perkembangan anak, menghadapkan anak pada sistem pemidanaan justru akan memberikan jaminan terhambatnya hak anak untuk berkembang yang dijamin oleh Konstitusi.
Kedua, UU SPPA meskipun mengusung semangat keadilan restoratif namun bukan berarti anak terhindar dari ancaman pidana, secara logis UU SPPA masih mendorong terjadinya pemenjaraan pada anak usia 12 tahun yang secara psikologis tentunya belum mampu menanggung beban pemenjaraan.
Ketiga, UU SPPA memang memberikan bentuk baru terhadap program pembinaan anak yang dipenjara dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), namun yang harus menjadi catatan adalah kesiapan Indonesia dalam membangun LPKA sesuai standar UU SPPA tentu saja meragukan, dari fakta saat ini saja Lapas Khusus anak hanya 19 lambaga tersebar hanya di 18 Provinsi. Sisanya? Anak ditempatkan berdampingan dengan orang dewasa. Keadaan buruk ini tentu saja menunjukkan ketidak mampuan negara dalam urusan pembinaan anak.
Keempat, perkembangan dunia Internasional saat ini mengacu pada peningkatan usia minimum pertanggungjawaban dengan alasan kebaikan dan kepentingan anak, hal tersebut dapat ditemui di negara-negara dengan usia 14 tahun di Austria, Jerman, Italy, Spanyol dan beberapa negara Eropa Tengah dan Timur, usia 15 Tahun di Yunani dan Negara-Negara Skandinavia dan sampai 16 tahun Untuk kejahatn spesifik di Russia and beberapa negara Eropa Timur serta Usia 18 tahun di Belgia. Manfaat besarnya adalah investasi terhadap pembinaan anak yang juga merupakan investasi masa depan bangsa.
Untuk itu ICJR memandang perlu agar pemerintah dan pihak-pihak yang terkait segera meilhat kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan dalam meningkatkan usia minimum pertanggungjawaban anak, terlebih karena belum berjalan efektifnya program pembinaan dalam UU SPPA. Kepentingan anak tidak dapat dipertaruhkan karena gagalnya negara mengantisipasi problem tehknis dalam UU SPPA.