Jumat, 13 Juli 2018, di halaman Masjid Baiturrahim Ulee Lheu Kec. Meuraxa Kota Banda Aceh, dilaksanakan hukuman cambuk terhadap 15 warga yang terbukti telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat). Salah satunya mengenai kasus liwath, yang dikenakan terhadap N (warga Aceh Tenggara) dan MR (warga Aceh Selatan). Mereka berdua akan dikenakan masing-masing 87 kali cambukan setelah dikurangi 3 kali masa tahanan. Berdasarkan Pasal 63 ayat 1 Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat) ancaman hukumannya masing-masing 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan.
Hukuman cambuk yang dikenakan terhadap mereka yang memiliki orientasi seksual berbeda jelas merupakan pelanggaran hak privasi warga negara dan membuka intervensi yang luar biasa terhadap hak-hak yang paling privat. Di sisi yang lain, akibatnya adalah telah menimbulkan stigma yang luar biasa sekaligus akan menyasar secara diskriminatif mereka yang memiliki orientasi seksual berbeda. Negara sudah terlalu jauh mengatur urusan warga negara yang bersifat privat dan personal menjadi urusan yang bersifat publik yang justru berujung pada meningginya diskriminasi dan ketidakadilan pada kelompok rentan.
Sejak awal diberlakukan, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), telah mengkritik keras penerapan hukuman cambuk dalam Hukum Jinayat (Qanun Jinayat). Hukuman cambuk dalam Qanun Jinayat telah memperkuat legitimasi penggunaan hukuman terhadap badan/tubuh (Corporal Punishment) di Indonesia. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Penggunaan hukuman cambuk merupakan pelanggaran hukum internasional tentang penyiksaan, dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau tidak bermartabat lainnya yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Internasional Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (UN CAT), yang mana Indonesia merupakan Negara Pihaknya. Hukuman cambuk kini tidak hanya digunakan untuk mempermalukan semata, tapi juga untuk menyakiti baik secara psikis maupun fisik yang secara jelas dan tegas telah dilarang dalam hukum Nasional maupun Internasional.
ICJR juga mengkritik terkait akses advokat dan bantuan hukum dalam kasus-kasus Qanun Jinayat di pengadilan Mahkamah Syariat Aceh yang cenderung lemah. Padahal ancaman pidana yang diancamkan termasuk pidana berat. Hal ini justru akan melemahkan pembelaan yang dilakukan oleh para tersangka dan terdakwa dalam rangka memperjuangkan hak-haknya di depan pengadilan.
Selain itu, dalam ketentuan UU no. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah dijelaskan bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, penerapan Qanun Jinayat justru bertentangan dengan UUD 1945 dan beberapa undang-undang, sebagai dibawah ini:
- Bentuk hukuman cambuk dalam Qanun Jinayat bertentangan dengan (a) UUD 1945 pasal 28G ayat (1), (b) UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, (c) UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-hak Sipil dan politik, (d) Undang-Undang No 5 Tahun 1998 pasal 1 dan 16 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (UN CAT), dan (e) UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
- Ketentuan tindak pidana dalam Qanun mengenai “pengakuan bersalah yang memberatkan dirinya” telah bertentangan dengan prinsip “non self incrimination”, yang diatur dalam Undang- Undang No. 12 Tahun 2005, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang, dan No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Pasal 52 (1) dalam Qanun Jinayat Mengenai Beban Korban Perkosaan untuk Memberikan Bukti bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih jauh lagi, hal ini merupakan bentuk diskriminasi pada korban pemerkosaan, dalam konteks ini adalah perempuan untuk memperoleh keadilan.
- Ketentuan Pasal 52 ayat (3) (4) dan (5) pasal 53, pasal 54, Pasal 55 dan pasal 56 dalam Qanun Jinayat mengenai sumpah sebagai tambahan alat bukti Bertentangan dengan Pasal 184 KUHAP dan Pasal 17 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.
- Pasal 36 Qanun Jinayat mengenai Perzinahan bersifat diskriminatif dan bertetangan dengan UU No. 7 tahun 1984 tentang pengesahan CEDAW dan KUHP.
- Qanun Jinayat pasal 5 Huruf C mengakibatkan duplikasi tindak pidana yang sudah diatur dalam KUHP sehingga terjadi tumpang tindih peraturan perundangan termasuk perbedaan sanksi pidana. Dualisme dan duplikasi tersebut bertentangan dengan asas ketertiban dan kepastian hukum dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.
- Beberapa ketentuan pidana dalam Qanun Jinayat tidak memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Hal ini bertentangan dengan asas “kejelasan tujuan”, asas “kejelasan rumusan” pada peraturan perundang-undangan yang diamanatkan melalui Pasal 5 huruf (a) (f) dan Pasal 6 ayat (1) (g), UU No. 12 Tahun 2011.
- Qanun Jinayat yang pengaturannya banyak bertentangan dengan konstitusi dan undang-undang nasional telah melanggar Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Qanun sebagai sebuah peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya dalam hal ini konstitusi dan undang-undang.
Selain itu ICJR juga memandang pelaksanaan cambuk bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Helsinki pada bab 1.4 tentang Peraturan perundang-undangan, poin 1.4.2 bahwa Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Atas dasar itu, ICJR tetap mendorong Pemerintah untuk segera mengambil langkah evaluasi terhadap Qanun Jinayat yang secara faktual telah mengakibatkan adanya praktik penyiksaan, perbuatan sewenang-wenang dan tidak manusiawi serta menghapuskan segala bentuk pidana badan (Corporal Punishment) dalam peraturan perundang-undangan yang ada, terkhusus mengenai hukuman cambuk.
Hukuman cambuk telah mencoreng wajah Pemerintah Indonesia dalam komitmen melindungi dan menghormati hak asasi manusia, disamping penggunaannya yang justru tidak bermanfaat dan efektif dalam menanggulangi kejahatan.
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel