Berbeda dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) lainnya, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) memiliki karakteristik yang unik sebab RKUHP merupakan hasil dari rekodifikasi hukum pidana nasional Indonesia. Dengan adanya rekodifikasi hukum pidana nasional ke dalam RKUHP ini, maka segala macam ketentuan perundang-undangan pidana menjadi tersatukan (terunifikasikan) secara sistematis ke dalam satu buku khusus.
Eksistensi dari kodifikasi hukum pidana ini menjadi penting, mengingat tugas Kepala Pemerintahan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam politik hukum nasional Indonesia untuk tetap melakukan modernisasi, kodifikasi dan unifikasi hukum pidana, mengingat hingga saat ini sistematika hukum pidana Indonesia masih terbelah menjadi hukum pidana yang terumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pidana yang ada di luar KUHP. Selain itu, kesuksesan perkembangan kodifikasi hukum di dunia dan didukung pula dengan nilai-nilai tujuan kodifikasi bagi perbaikan suatu tatanan hukum di kemudian hari,juga kemudian melahirkan pertanyaan akan model kodifikasi seperti apa yang berlaku dalam RKUHP.
Dengan adanya model kodifikasi seperti, maka sudah pasti akan memberikan pengaruh bagi (i) undang-undang sektoral yang memuat ketentuan pidanayang bersifat umum (generic crime) di luar KUHP, (ii) pemetaan ulang tindak pidana administratif (administrative crime), (iii) aturan tindak pidana dalam Peraturan Daerah (Perda), (iv) hukum yang hidup di masyarakat (hukum pidana adat) dan (v) sejumlah instrumen hukum internasional yang [mungkin] berlaku bagi Indonesia, pasca terbentuknya RKUHP.
Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, implikasi terhadap sejumlah instrumen hukum ini perlu mendapatkan sorotan mendalam karena di satu sisi peraturan-peraturan tersebut memiliki peranan sentral dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia dewasa ini; sementara itu di sisi lain model kodifikasi total RKUHP yang mengharuskan semua ketentuan pidana di luar KUHP untuk dimasukan ke dalam RKUHP. Hal ini justru memicu timbulnya dualisme (ambiguity), ketidakjelasan serta konflik-konflik antara RKUHP dengan instrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP tersebut.
Merujuk kepada model kodifikasi total dalam RKUHP yang menitikberatkan pada upaya untuk memasukkan semua ketentuan pidana di luar KUHP ke dalam RKUHP, maka tak pelakrekodifikasi RKUHP ini tentunya akan memberikan dampak yang krusial bagi pasal-pasal dalam undang-undang sektoral yang memuat ketentuan generic crime di luar KUHP. Kodifikasi dengan model yang memisahkan antara generic crime dan administrative crime ini juga kemudian akan menimbulkan pertanyaan akan bagaimana menarik generic crime yang ada dalam undang-undang sektoral di luar KUHP ke dalam RKUHP pasca lahirnya rancangan tersebut, serta juga akan mengakibatkan adanya pemetaan ulang dari tindak pidana administratif per se.
Lebih lanjut, kodifikasi ini juga akan berimplikasi pada ketentuan pidana yang ada di tingkat lokal (Perda) sebagai dampak dari adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012,dan juga kepada hukum yang berlaku di masyarakat (living law), seperti hukum pidana adat. Sebagai tambahan, mengingat posisi Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, maka jelas pembentukan kodifikasi RKUHP ini juga akan berdampak terhadap kewajiban Indonesia untuk mematuhi sejumlah instrumen hukum internasional.
Berangkat dari seluruh pertimbangan di atas, maka Aliansi Nasional reformasi KUHP, merekomendasikan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dalam persiapan dan pengesahan RKUHP untuk secara bertahap melakukan hal-hal berikut ini:
- Rekomendasi umum
Sebelum mengesahkan RKUHP, DPR harus terlebih dahulu menjelaskan amandemen terhadap Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang memberikan batasan bahwa undang-undang sektoral dan Perda hanya dimungkinkan memuat ketentuan pidana yang bersifat administratif saja. Secara alternatif, jika ketentuan dalam Pasal 15 ini belum diamandemen, RKUHP sebaiknya memuat ketentuan khusus untuk menjembatani eksistensi Pasal ini, sehingga pembentukan undang-undang sektoral dan Perda yang memuat ketentuan pidana tidak mengalami kesulitan akan ketentuan hukum mana yang harus dipatuhi.
- Terkait undang-undang sektoral yang memuat tindak pidana di luar RKUHP
Mendesak Pemerintah dan DPR untuk cabut RUU sektoral yang ada dalam daftar Prolegnas yang masih memuat ketentuan pidana di luar RKUHP dan memindahkannya ke dalam RKUHP. Pencabutan RUU sektoral ini harus juga diiringi dengan pencabutan Pasal 218 RKUHP yang masih memungkinkan termuatnya ketentuan pidana dalam undang-undang sektoral di luar RKUHP.
- Terkait tindak pidana administratif
Pasca pengesahan RKUHP, perlu diadakan pemetaan ulang terhadap tindak pidana mana saja yang dapat dikualifisir sebagai tindak pidana administratif, termasuk pula menguraikan alasan-alasan pemasukan beberapa tindak pidana yang bersifat administratif masih termuat dalam RKUHP. Padahal di sisi lain esensi karakteristik RKUHP hanyalah untuk mengakomodir tindak pidana umum/independen saja.
- Terkait Peraturan Daerah (Perda)
Aliansi masih menemukan loophole yang belum ditelaah oleh tim perumus RKUHP terkait dengan implikasi rekodifikasi RKUHP terhadap Perda. Walaupun Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 memberikan otoritas bagi Perda untuk memuat ketentuan pidana tanpa batas. Artinya Perda dapat mengatur tindak pidana yang bersifat umum/independen maupun tindak pidana yang bersifat administratif. Namun ketentuan itu diperhadapkan dengan semangat pembentukan RKUHP yang hanya mengkhususkan tindak pidana yang bersifat umum/independen saja yang mungkin untuk ditempatkan dan mengeluarkan tindak pidana administratif pada Perda di luar RKUHP.
Situasi hal ini akan menjadi permasalahan besar bagi Pemda dan DPRD dalam merumuskan Perda yang memuat ketentuan pidana karena ketidakjelasan akan ketentuan mana yang mereka harus patuhi. Oleh karena itu, sebaiknya sebelum mengesahkan RKUHP ini perlu pula dilakukan pertimbangan dan kajian yang mendalam terkait dengan hubungan RKUHP dengan instrumen hukum lainnya agar tidak terjadi tumpang tindih di antara mereka Memperjelas Bab XXXVII Buku II RKUHP tentang Ketentuan Peralihan, utamanya memodifikasi ketentuan Pasal 776 huruf (a), agar memiliki muatan pasal khusus yang dapat memungkinkan Perda untuk tetap memuat ketentuan pidana karena sifat kelokalannya bagi masing-masing daerah tentunya dalam kerangka kodifikasi hukum pidana.
- Terkait hukum yang hidup di masyarakat (hukum pidana adat)
Memperjelas makna hukum yang hidup di masyarakat, sebagaimana tertuang dalam sejumlah pasal di RKUHP. Sepanjang pemaknaan ini belum ada, maka sebaiknya ketentuan-ketentuan tersebut dicabut untuk menjamin adanya RKUHP yang menjunjung tinggi asas kepastian hukum itu sendiri. Jika hukum yang hidup di masyarakat ini dimaknai sebagai hukum pidana adat, maka penulis merekomendasikan dibentuknya suatu lembaga khusus yang berwenang untuk menyaring hukum pidana adat mana saja yang berlaku dan masyarakat adat mana saja yang terikat olehnya agar rekodifikasi RKUHP tidak menciderai eksistensi hukum pidana adat.
- Terkait Hukum Internasional
Memuat ketentuan khusus dalam RKUHP yang mengatur mengenai mekanisme harmonisasi ketentuan pidana yang ada dalam RKUHP dengan ketentuan hukum internasional, dalam hal ini perjanjian internasional, yang sudah diratifikasi oleh Indonesia namun belum diinkorporasikan ke dalam bentuk undang-undang pengesahan perjanjian internasional secara khusus.