Institusi Praperadilan dianggap sudah layak untuk dimusiumkan, kalimat tersebut adalah sepenggal kesimpulan dari Anggara Suwahju, Ketua Badan Pengurus ICJR. Pada diskusi denga tema “Reformasi Penahanan dan Pengawasannya dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” dalam rangka Launching Buku “Praperadilan : Teori, Sejarah dan Praktiknya”, Selasa, 25 maret 2014. Acara ini dihadiri oleh Luhut M. Pangaribuan, Ifdhal Kasim dan Jampidsus Widyo Pramono sebagai pembicara.
Kehadiran lembaga praperadilan sejatinya muncul dari semangat untuk memasukan konsep habeas corpus di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia. Namun pada akhirnya konsep habeas corpus diadopsi dalam KUHAP Indonesia dalam bentuk mekanisme hukum praperadilan, yang memiliki kewenangan tidak seluas dan seketat konsep aslinya—habeas corpus.
Besarnya kewenangan penahanan yang mutlak berada ditangan aparat penegak hukum mengakibatkan pengawasan terhadap upaya paksa penahanan dalam wujud praperadilan tidak berdaya. Dalam pemeriksaan perkara praperadilan, pengadilan kerap tidak memeriksa syarat sesuai dengan KUHAP dalam melakukan penangkapan, penahanan, atau upaya paksa lainnya, termasuk unsur kekhawatiran penyidik, yang berujung pada penolakan dari hakim untuk memeriksa unsur kekhawatiran tersebut. Akibatnya Hakim sekadar memeriksa prosedur administratif, seperti kelengkapan surat. Model seperti ini berimplikasi pada munculnya anggapan bahwa praperadilan adalah mekanisme yang tidak penting lagi.
Sebagaimana berbagai studi yang dilakukan berbagai pihak, Anggara mengatakan bahwa studi ICJR juga menemukan bahwa problem mendasar yang menyebabkan terjadinya kondisi semacam ini berada dalam tataran konseptual sampai dengan praktik sidang praperadilan. Singkatnya pengaturan KUHAP saat ini mengenai hukum acara dan proses pemeriksaan praperadilan tidak memberikan jaminan sama sekali terhadap kepastian hukum dan akses keadilan.
Salah satu hal yang dapat menunjukkan tidak efektifnya praperadilan sebagai wadah bagi tersangka dalam memperjuangkan hak asasinya adalah adanya kondisi yang menyebabkan berlarut-larutnya proses pemeriksaan praperadilan ini yang secara praktis berbanding lurus dengan keberadaan ketentuan gugurnya praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d. Menurut pasal ini, permohonan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah diperiksa di Pengadilan. Padahal, publik sudah cukup memahami resistensi penyidik dan penuntut terhadap praperadilan ini sehingga umum terjadi penyidik atau penuntut akan mempercepat proses pemeriksaan agar perkara pokoknya segera dilimpahkan ke pengadilan, dan praperadilan menjadi gugur. Dengan demikian, cukup beralasan jika dikatakan bahwa dalam kondisi seperti ini sistem seakan tidak lagi memperdulikan hak tersangka untuk (setidaknya) mengetahui apakah penangkapan dan penahanan terhadapnya sah atau tidak.
Beberapa problem praperadilan lainnya adalah terkait dengan beban pembuktian dalam praperadilan. KUHAP mensyaratkan bahwa unsur keadaan memaksa (kekhawatiran) adalah domain dari pejabat (penyidik/penuntut) untuk menggunakan upaya paksa. Oleh karenanya, akan menjadi lebih fair jika pihak yang dibebani untuk membuktikan unsur keadaan yang mengkhawatirkan itu dalam sidang praperadilan adalah pejabat yang bersangkutan. Namun dengan menggunakan asas-asas hukum acara perdata -siapa yang mendalilkan maka ia harus membuktikan- maka beban pembuktian harus pula diletakkan di pihak Pemohon.
Hal ini telah membawa akibat serius karena selain keberadaan barang bukti yang praktis ada di tangan pejabat yang bersangkutan, pada dasarnya Pemohon juga akan sangat kesulitan membuktikan adanya keadaan kekhawatiran tersebut yang notabenenya berada dalam ranah subyektif pejabat yang melakukan upaya paksa.
Pada dasarnya masih banyak problem yang ditemukan dalam konsep praperadilan sebagai mekanisme komplain terhadap tindakan upaya paksa dari aparatur negara khususnya dalam konteks penangkapan dan penahanan pra persidangan. Beberapa kelemahan yang telah diinventarisasi oleh ICJR adalah :
- Kewenangan praperadilan hanya bersifat ‘Post Factum’ karena semua kewenangan praperadilan timbul setelah upaya paksa terjadi, atau dengan kata lain karena setelah adanya penetapan penyidik untuk menahan atau melakukan upaya paksa .
- Pengujian penahanan: terbatas pada pengujian administratif administratif dan dasar objektif penahanan
- Sikap hakim yang cenderung pasif dalam praperadilan. Dalam menggunakan kewenangannya, hakim pada praperadilan bersikap pasif, yaitu kewenangan yang dimiliki hakim praperadilan hanya dipergunakan apabila ada permohonan.
- Masalah hukum acara praperadilan, manajemen perkara praperadilan dan ketepatan waktu praperadilan yang minim pengaturan.
Reformasi hukum acara pun disuarakan. Pada saat ini, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dihadapkan dalam pembahasan Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (R KUHAP) setelah tertunda-tunda hampir belasan tahun. Reformasi penahanan dan praperadilan penahanan pun masuk dalam agenda yang dianggap penting.
Untuk itu ICJR memberikan rekomendasi sebagai berikut; Pertama, Dibutuhkan pengaturan yang bersifat transisi terkait hukum Praperadilan Penahanan di Indonesia yang menyangkut: Kepastian jangka waktu pelaksanaan Praperadilan, dibutuhkan Pengaturan khusus terkait dengan hukum acara dalam Praperadilan, perlu pengawasan secara umum terhadap praktik Praperadilan, manajemen perkara praperadilan di tingkat PN membutuhkan perbaikan.
Kedua, Standar Minimal Perumusan Mekanisme Pengawasan Penahanan dalam RKUHAP mendatang, harus memperhatikan beberapa hal berikut: kewajiban kepada penyidik untuk merinci bagaimana keadaan seseorang “diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup”, syarat subjektif harus dapat diuji dalam praperadilan penahanan, penahanan sebaiknya diputusakan oleh Pengadilan, yang harus berwenang menjangkau hak penyidik dan penuntut sebelum penahanan, pengaturan hukum acara dalam sidang pemeriksaan pendahuluan harus diperkuat.