Jokowi Didesak Moratorium Hukuman Mati
Presiden Joko Widodo alias Jokowi didesak melakukan memoratorium hukuman mati di Indonesia. Alasannya, munculnya temuan dugaan peradilan sesat yang diterapkan pada putusan mati.
Temuan tersebut mencuat pada sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Maret 2015 lalu atas putusan Yusman Telambanua dan kakak iparnya Rasulah Hia.
“Kami mendesak Presiden Jokowi melakukan moratorium eksekusi bagi terpidana mati dan penjatuhan pidana mati selama masih belum adanya hukum acara pidana yang sesuai standart fair trial,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Supriyadi Widodo Eddyono dalam pernyataan resminya yang diterima CNN Indonesia.
ICJR yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan Koalisi Indonesia Anti Hukuman Mati menilai proses hukum yang adil belum dapat diterapkan di Indonesia. Kasus Yusman dan Rasulah menjadi salah satu bukti. Kedua pemuda ini disiksa oleh tim penyidik untuk mengakui pembunuhan terhadap tiga orang yakni Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br Haloho.
Saat proses hukum berlangsung, Yusman dan Rasulah juga tak didampingi pengacara yang laik. Kuasa hukum keduanya yang disediakan oleh negara justru meminta pengadilan menjatuhkan hukuman mati. Putusan hakim pun menetapkan Yusman dan Rasulah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto 55 ayat 1. Putusan tersebut dibacakan pada tanggal 21 Mei 2013 silam.
“Setidaknya pemerintah harus segera melakukan pembahasan dengan segera terkait perubahan KUHAP untuk memberikan standar baru bagi proses peradilan pidana terhadap tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati,” katanya.
Supriyadi juga meminta dilakukannya pengkajian ulang semua putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Menurutnya, semua putusan harus dipastikan telah sesuai dengan prinsip fair trial dan prinsip universal terkait penjatuhan pidana mati.
Sejak tahun 1979, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi 79 terpidana mati. Angka tersebut di dominasi kasus pembunuhan berencana (26 kasus), narkoba (18), kejahatan politik (13) dan terorisme (7).
Selain 79 orang yang bernasib nahas itu, ada 121 terpidana mati lainnya yang masih was-was menanti ketuk palu hakim dan keputusan jaksa eksekutor untuk menembak mereka. Orang-orang ini terjerat berbagai kasus mulai dari penyalahgunaan narkotika hingga pembunuhan berencana. (pit)
Sumber: CNN Indonesia
Artikel Terkait
- 27/04/2022 Menimbang Nyawa: Buku Saku Pertimbangan-Pertimbangan Penting Pengadilan dalam Kasus Hukuman Mati
- 27/04/2022 Database Hukuman Mati Indonesia: Metodologi
- 27/01/2022 Laporan Situasi Kebijakan Pidana Mati di Indonesia 2021 “Ketidakpastian Berlapis: Menanti Jaminan Komutasi Pidana Mati Sekarang!”
- 12/12/2020 Berkaca dari Eksekusi Mati Brandon Bernard, Indonesia Bisa Lebih Baik dari Amerika Serikat
- 10/10/2019 Mempermainkan Takdir: Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2019
Related Articles
Paradigma Memenjarakan Anak Masih Kuat di Kalangan Jaksa-Hakim
Matraman, Wartakotalive.com – Institute for Criminal Justice Reform (ICR) mengemukakan, hasil kajian khusus tentang kondisi anak pelaku tindak pidana di
Rancangan KUHP Ancam Kebebasan Sipil
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini telah diselesaikan pemerintah setelah 49 tahun lamanya melakukan pembahasan.
Demi Jaminan Perlindungan Saksi Dan Korban, LPSK Harus Diatur Dalam KUHAP
Wakil Menteri hukum dan HAM, Denny Indrayana, menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) memiliki beberapa kelemahan. Kelmahanan adalah bahwa rumusan