Institute for Criminal Justice reform (ICJR) mengecam keras reviktimisasi korban dalam kasus pemerkosaan yang menimpa Anak 14 Tahun yang diduga dilakukan oleh 20 orang pelaku pada Tanggal 4 November 2017 di Bengkulu.
Namun,melalui surat 013/LPA-Prov.BKL/XI/2017 LPA Bengkulu telah menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku berupa persetubuhan terhadap anak usia 14 tahun bukanlah merupakan perkosaan lantaran dilakukan atas dasar suka sama suka. LPA Bengkulu dalam surat yang sama juga memberikan stigmatisasi terhadap korban dengan menyatakan bahwa korban “sudah terkenal” lengkap dengan penggunaan tanda kutip.
Respon yang dilakukan LPA ini memprihatinkan karena pernyataan tersebut justru datang dari lembaga yang menyatakan dirinya sebagai pelindung bagi anak, lembaga inilah yang seharusnya memberikan pendampingan kepada korban kekerasan seksual khususnya korban anak.
Sudah secara tegas sudah dinyatakan bahwa dalam Pasal 81 ayat (1) UU No 23 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, bahwa segala bentuk persetubuhan terhadap anak dibawah 18 tahun merupakan tindak pidana. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku dengan bentuk apapun termasuk jika didalamnya ada bujuk rayu tidak serta merta menjadikan perbuatan tersebut tidak dapat dijerat secara pidana.
Pernyataan LPA ini jelas menambah deret panjang fakta memilukan tentang penanganan korban kekerasan seksual. Sebelumnya pada pertengahan bulan lalu secara mengejutkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Tito Karnavian dalam wawancaranya dengan BBC menyarankan polisi untuk menanyakan tentang “nyaman atau tidaknya” korban perkosaan pada saat terjadi perkosaan. Belum lagi pada awal tahun 2017 Petugas Kepolisian di Polsek Jatinegara secara gamblang menyatakan bahwa tindakan seorang pelaku yang memegang paha seorang perempuan di dalam bus transjakarta bukan merupakan pelecehan seksual. Petugas kepolisian tersebut secara bahkan secara terbuka menyatakan bahwa “pelecehan seksual bisa terjadi jika korban mengenakan rok mini, kalau pelecehan, kan dia megang payudara atau megang alat kelaminnya atau barang si laki dikeluarin ditampilin”.
Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi dalam tataran penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, pertimbangan-pertimbangan hakim dalam kasus kekerasan seksual tak jarang memuat hal-hal yang tidak relevan yang cenderung memojokkan korban, Pertama, dalam Putusan 1391/Pib.B/PA/2007/PN. LP kasus pencabulan hakim justru memberikan pertimbangan yang tidak relevan dengan menjabarkan perbuatan-perbuatan korban yang dinilainya melanggar ketertiban umum, Kedua, dalam 152 Pid.Sus 2014 PN BB, dalam pertimbangannya, hakim secara terbuka menyatakan bahwa respon atau tanggapan korban telah melancarkan terjadinya persetubuhan sehingga hal tersebut dapat dijadikan dasar peringan hukuman.
Fakta-fakta yang terjadi dalam sistem peradilan pidana ini sebenarnya merupakan afirmasi dari kesalahan pengaturan tindak pidana mengenai kekerasan seksual di Indonesia, pengaturan kekerasan seksual selama ini meninggalkan situasi korban dalam penanganannya, korban dipandang hanya sebatas saksi dalam konteks pembuktian, sehingga fokus yang diberikan hanya melulu pada pelaku tindak pidana bukan pendampingan terhadap korban.
Kendati Mahkamah Agung sudah mengesahkan Peraturan Mahkamah Agung No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang memuat tentang larangan menunjukkan sikap merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi perempuan sebagai korban oleh hakim, namun pengaturan tersebut hanya berlaku bagi hakim, sehingga perlu ada jaminan menyeluruh pada setiap tahap proses peradilan pidana bahwa korban tidak boleh mendapatkan viktimisasi ganda, terlebih dari lembaga yang seharusnya melindunginya.
Maidina Rahmawati