Kembali lagi terjadi kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menyasar korban anak. Pada 25 September 2023 Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mengatakan bahwa terdapat 21 anak lebih telah menjadi korban eksploitasi seksual oleh seorang Mucikari berinisial FEA. FEA alias Mami Icha (24) diketahui menjual anak untuk memberikan jasa seksual. Disebutkan pula bahwa Mami Icha menjadi mucikari sejak April 2023. Dia mendapatkan keuntungan dari hasil mengeksploitasi seksual anak di bawah umur tersebut.
Diketahui Tersangka FEA sebagai mucikari mendapat bagian sekitar 50 persen dari setiap transaksi. FEA dalam melakukan aksinya menggunakan anak-anak yang didapat dari jaringan pergaulan, sebagian besar korban anak-anak yang masih menempuh pendidikan sekolah. Anak korban SM (14) baru pertama kali akan melakukan pekerjaan tersebut dengan tujuan ingin membantu neneknya, ia dijanjikan akan mendapatkan uang sebesar Rp 6 juta. Lalu anak DO (15) baru pertama kali dipekerjakan dengan iming-iming akan diberikan uang sebesar Rp 1 juta,
Dalam kasus anak yang menjadi korban dari TPPO berdasarkan Protokol Palermo yang menjadi acuan pengaturan bagi TPPO, yakni terhadap korban anak, unsur “cara” atau metode bagaimana anak terjerat dalam perdagangan tidak perlu dibuktikan atau tidak relevan untuk digali dalam kasus dengan korban anak. Sehingga, Polisi dan Jaksa yang menangani kasus ini harus tidak memberikan stigma terhadap anak korban. Hal yang dapat dilakukan dengan tidak menyebutkan kasus ini sebagai prostitusi, melainkan adalah eksploitasi seksual anak atau TPPO terhadap anak, dan narasi persetujuan anak terjerat dalam praktik ini tidak perlu digali apalagi dipublikasikan menjadi pemberitaan, hal ini hanya akan menjadi stigma di masyarakat. Lemahnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai kasus perdagangan orang menjadi salah satu masalah penghambat dalam pemberantasan TPPO.
Tidak hanya sampai soal narasi APH dan pemberitaan, unsur persetujuan anak juga tidak boleh digali dan dipertimbangan dalam impelementasi penegakan hukum. Kami mengingatkan jangan sampai terjadi seperti apa yang kami temukan dalam riset yang ICJR hasilkan mengenai evaluasi kerangka hukum TPPO dan bentuk eksploitasi lainnya, yaitu dalam Putusan No. 310/Pid.Sus/2020/PN.Mtr, dalam kasus TPPO dengan bentuk eksploitasi seksual anak, justru hakim memandangi tidak terpenuhinya unsur eksploitasi, dikarenakan korban telah menyatakan persetujuan untuk bekerja dengan pelaku.
Memang kerangka hukum UU No. 21 tahun 2007 tentang TPPO saat ini belum mengakomodir pengaturan TPPO anak tanpa mempertimbangkan unsur persetujuan, yang mana temuan ini sejalan dengan laporan TPPO tahun 2023 yang diterbitkan oleh US embassy, namun kerangka hukum UU TPPO, maupun UU Perlindungan Anak tentang Eksploitasi Seksual tetap bisa digunakan, dengan tetap mempertimbangkan adanya persetujuan anak tidak menjadi dasar hilangnya pertanggungjawaban pelaku.
Aspek lainnya, jaminan pemenuhan hak korban, temuan ICJR sebelum dalam penelitian menunjukkan dari 38 perkara yang diputus sampai tingkat kasasi, hanya 2 perkara yang ada pendampingan korban dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 3 korban meninggal dunia, sedangkan sisanya sebanyak 33 korban tidak ada pendampingan dan pemulihan terhadap mereka. Polisi Jaksa dalam kasus ini jangan sampai abai memberikan pendampingan pada korban anak, yang perlu ditekankan, sifatnya wajib.
Kemudian soal restitusi, dalam riset sebelumnya ditemukan dari 38 perkara, mayoritas yaitu 26 perkara tidak diajukan tuntutan ganti kerugian oleh Penuntut Umum, dan hanya 10 perkara yang dikabulkan restitusinya oleh hakim dan 2 perkara yang putusannya disertai dengan penyitaan/perampasan aset untuk kepentingan restitusi, namun pun tidak memuat teknis detail bagaimana perampasan aset tersebut dilakukan. ICJR mengingatkan eksploitasi seksual dan TPPO eksploitasi seksual termasuk kekerasan seksual, yang hukum acaranya dapat merujuk pada UU No. 12 tahun 2022 tentang TPKS, berdasarkan Pasal 4 ayat (2). Pasal 31 ayat (1) UU TPKS juga mengamanatkan bahwa Polisi, Jaksa, Hakim harus memberitahukan tentang hak restitusi, dan dalam Pasal 31 ayat (3) juga dapat dilakukan penyitaan harta pelaku untuk jaminan pembayaran restitusi, hal ini juga untuk mendorong Polisi dan Jaksa berusaha tidak hanya menjerat pelaku lapangan, harus sampai pihak yang paling besar sebagai pemodal perbuatan ini. Polisi dan Jaksa juga harus menggali kemungkinan untuk menjerat pihak yang membeli jasa seksual anak korban tersebut, dengan menjeratnya dengan ketentuan mengenai eksploitasi seksual terhadap anak yang mana pembeli harus sepatutnya menduga bahwa orang tersebut adalah anak. Pihak ini juga harus bertanggungjawab dalam bentuk ganti kerugian korban melalui restitusi.
ICJR mengkhawatirkan bahwa tidak komprehensifnya kerangka normatif dalam UU PTPPO serta lemahnya pemahaman aparat penegak hukum dan stigma yang sering dilakukan aparat dalam kasus perdagangan orang berimplikasi terhadap lemahnya penegakan hukum dan pemenuhan hak anak,
Dengan demikian ICJR, mendesak untuk:
- Polisi dan Jaksa tidak menstigma anak, narasi persetujuan anak tidak perlu digali dan dipublikasikan untuk menjadi pemberitaan Penegakan hukum harus tidak menggali persetujuan anak, dan jangan sampai menjadi dasar penghilangan pertanggungjawaban pidana.
- Polisi, Jaksa dan Hakim harus menjamin pendampingan anak, dan restitusi diberikan.
- Polisi, Jaksa dan Hakim harus menggunakan hukum acara dalam UU TPKS.
- Polisi dan Jaksa harus berusaha menjerat pelaku paling tinggi, tidak berhenti pada pelaku lapangan, dan juga menjerat pengguna jasa seksual anak.