Sekitar seminggu lalu publik tiba-tiba dihebohkan dengan pengungkapan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menjual organ ginjal di Kamboja, dengan tempat penampungan korban di Bekasi, dan keberangkatan melalui Bali.
Dalam kasus ini, Polda Metro Jaya telah menetapkan 12 orang tersangka, terdiri dari 9 tersangka sindikat dalam negeri yang berperan antara lain merekrut, menampung, mengurus perjalanan korban, 1 orang tersangka berperan sebagai penghubung korban dengan rumah sakit di Kamboja, sedangkan 2 orang tersangka lagi dari oknum instansi Polri dan Imigrasi. Namun, ada terduga pelaku yang dikenal dengan nama Miss Huang, berperan sebagai koordinator dari 12 tersangka tersebut, yang saat ini masih dalam status DPO.
ICJR menyerukan bahwa berdasarkan penelitian ICJR mengenai evaluasi kerangka hukum TPPO dan bentuk eksploitasi lain yang berkaitan, bahwa seringkali kasus penegakan TPPO menyertakan DPO namun tidak jelas tindak lanjut terhadap DPO tersebut. ICJR meminta penyidik tidak hanya tinggal diam dengan pernyataan tersangka lain yang menyatakan tidak mengenal Miss Huang tersebut. Dan Jaksa juga harus bersikap untuk menjamin ada tindak lanjut terhadap DPO tersebut.
Seperti banyak kasus perdagangan orang lainnya, pada kasus ini aparat kepolisian masih hanya berhasil menjerat pelaku lapangan dalam sindikat TPPO, yang antara lain berperan merekrut, menampung, mengurus perjalanan dan dokumen administrasi korban, serta penghubung korban dengan pihak rumah sakit di Kamboja. Sementara itu, sosok Miss Huang sebagai koordinator kedua belas tersangka tersebut, belum diungkap.
ICJR juga tegaskan bahwa sekalipun dalam penelitian ICJR ditemukan batasan dalam kerangka hukum TPPO utamanya untuk menjerat perbuatan untuk tujuan eksploitasi di luar negeri (karena batasan Pasal 4 UU No. 21 tahun 2007), namun penggunaan Pasal 2 UU No. 21 tahun 2007 dengan menjerat potensi eksploitasi di dalam negeri juga dalam diberlakukan, sehingga aktor intelektual harus juga bisa dijerat.
Temuan penelitian ICJR juga menemukan jaminan hak korban yang tidak cukup dijalankan oleh APH sebagai bagian dari komitmen penegakan hukum TPPO. ICJR dalam risetnya yang melakukan anotasi putusan yang sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung menemukan, dari 38 perkara yang diputus sampai tingkat kasasi, hanya 2 perkara yang ada pendampingan korban dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 3 korban meninggal dunia, sedangkan sisanya sebanyak 33 korban lagi tidak ada pendampingan dan pemulihan terhadap mereka. Kemudian soal restitusi untuk korban tindak pidana perdagangan orang, dari 38 perkara, mayoritas yaitu 26 perkara tidak diajukan tuntutan ganti kerugian oleh Penuntut Umum, dan hanya 10 perkara yang dikabulkan restitusinya oleh hakim dan 2 perkara yang putusannya disertai dengan penyitaan/perampasan aset untuk kepentingan restitusi, namun pun tidak memuat teknis detail bagaimana perampasan aset tersebut dilakukan.
ICJR tidak ingin hal tersebut kembali terjadi dalam kasus ini. Polisi telah menyatakan kepada publik berapa keuntungan pelaku, banyaknya korban, nilai uang yang diberikan kepada korban dan informasi bombastis lainnya, maka hal tersebut harus ditindaklanjuti melalui langkah penegakan hukum yang konkret, dengan membekukan jalur transaksi keuntungan untuk mencari tahu aktor intelektual dan pemodal serta untuk merampas aset tersebut untuk membayar restitusi korban dan pemulihan korban.
Berdasarkan hal tersebut, ICJR mendesak:
- Jaksa harus aktif sedari awal untuk menjamin penyidik menyidik tuntas kasus tidak hanya berhenti pada pelaku lapangan
- Jaksa memastikan penyidik melakukan pelacakan aset dan pemblokiran rekening untuk mencari tahu jalur jaringan dan membayar restitusi korban yang mencapai ratusan orang
- Hak korban untuk restitusi harus diajukan dalam tuntutan oleh Jaksa yang dikoordinasikan melalui Penyidik Kepolisian dan LPSK sedari awal proses pengusutan kasus ini
Jakarta, 28 Juli 2023
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)