Saat ini Pemerintah lewat Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sedang berupaya melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakat (atau sering disebut sebagai PP 99).
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada dasarnya sepakat bahwa PP 99 harus direvisi secepat mungkin, pandangan ini didasarkan atas konteks harm reduction (pengurangan dampak buruk) bari pengguna dan pecandu narkotika. ICJR menilai bahwa PP 99 tidak melihat secara lebih fokus realita dan masalah empiris peradilan pidana yang berhubungan dengan kasus narkotika.
Atas permasalahan overkapasitas dan masalah narkotika, ICJR memiliki beberapa catatan, diantaranya :
- Masalah Overkapasitas Dan Penyalahguna Narkotika
Salah satu masalah utama dalam overkapasitas adalah karena tingginya suply tahanan dan narapidana ke dalam lapas. Berdasarkan Penelitian ICJR pada 2014, Populasi penghuni penjara meledak dua kali lipat dari 71.500 menjadi 144.000 pada tahun 2004 hingga 2011, padahal kapasitas penjara hanya bertambah kurang dari 2%. Pada bulan Juli 2015, menurut Sistem Database Pemasyarakatan (SDB) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), ada sejumlah 178.063 penghuni yang tersebar di 477Lapas/Rutan. 34% dari jumlah tersebut adalah tahanan pra-persidangan. Angka ini belum termasuk jumlah tahanan yang berada di dalam tahanan Kepolisian. Kepadatan penghuniLapas/Rutan secara nasional sudah berkisar di angka 145%, namun pada banyak penjara besar jumlah penghuni bisa mencapai angka 662% dari kapasitas yang tersedia.
Ada 2 unsur paling penting dari besarnya jumlah penghuni Lapas, yaitu unsur penahanan yang begitu besar (34% dari total penghuni) dan tingginya pemidanaan yang berujung pada pemenjaraan. Terkait kedua unsur ini, Kemekumham sesungguhnya memegang peranan yang begitu penting, bukan karena Kemenkumham yang mengelola Lapas, namun karena jalan masuk terkait pemenjaraan dipegang oleh Kemenkumham sendiri melalui kewenangan pmbentukan dan rancangan Undang-undang yang memuat pidana.
Merujuk data dari Penelitian Mappi FH UI (Anugerah Rizki Akbari), Dari jumlah yang tercatat sejak 1998-2014 ada 563 undang-undang yang diproduksi Pemerintah dan DPR. Dari jumlah itu sebanyak 154 undang-undang mencantumkan ketentuan pidana. berikutnya, ada sekitar 1.601 perbuatan yang bisa dikategorikan tindak pidana. Sebanyak 716 perbuatan merupakan jenis tindak pidana baru.
Yang menjadi catatan penting, dari 1.601 tindak pidana, sebanyak 1.424 atau 88,9% mencantumkan penjara sebagai sanksi. Dari 1.424 tindak pidana, sebanyak 738 memiliki sanksi pidana penjara di atas 5 tahun. Dengan begitu, ketentuan tersebut mengaktifkan pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP, dimana orang yang terkena ancaman pidana penjara di atas 5 tahun maka dapat ditahan.
Visi undang-undang di Indonesia yang bernuansa penjara sesungguhnya adalah alasan sederhana mengapa Indonesia menghadapi overkapasitas Lapas. Sebagai contoh lain, dalam Rancangan KUHP (RKUHP) yang saat ini dibahas di DPR, hampir semua ancaman pidana meningkat drastis, beberapa diantaranya bahkan dapat mengakibatkan overkriminalisasi yang berujung pemenjaraan dan berbuah overkapasitas. Sebut saja semisal pidana penghinaan yang ancamannya dalam RKUHP mencapai 5 tahu penjara atau pidana Zina yang juga mencantumkan pidana penjara 5 tahun sehingga Polisi bisa melakukan penahanan kapan saja.
Belum lagi kebijakan alternatif penahanan yang tidak pernah dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum. SEMA dan SEJA terkait penempatan pengguna dan pecandu narkotika di tempat-tempat rehabilitasi tidak berjalan. Dari data yang dikeluarkan Kemenkumham Pada Juli 2016, penghuni Lapas yang “teridentifikasi” sebagai pengguna mencapai 20.411 orang.
Sejalan dengan itu, tingginya angka pemidanaan menjadi alasan lainnya, sistem peradilan pidana Indonesia cenderung sangat kaku, sehingga kasus sekecil apapun biasanya akan dilanjutkan prosesnya sampai dengan ditahan bahkan dipenjara, sebagai contoh, tidak berjalan efektifnya Perma No 2 Tahun 2012 tentang batas tindak pidana ringan, mengakibatkan banyak tindak pidana yang seharusnya tidak perlu ditahan dan dipidana, justru diproses seperti biasa.
- Kebijakan tidak tepat sasaran.
Hubungan remisi dan overkapasitas sebetulnya tidak segaris. Namun ada kecenderungan bahwa pemerintah mengaitkan perubahan pengetatan remisi ini dengan situasi kepadatan lapas. Jadi dengan di bukanya peluang remisi yang dipermudah maka akan terjadi dampak pengurangan jumlah warga binaan dalam lapas. Ini adalah asumsi yang paling kerap disampaikan dalam pemberitaan media.
ICJR justru mempertanyakan semangat ini, jika memang berencana mengurangi overkapasitas, maka mengapa di arahkan atau menyentuh kebijakan pemidanaan kepada kejahatan korupsi ? bukankah hal ini salah sasaran. Karena seperti yang diketahui, berdasarkan data SDP bahwa jumlah warga binaan terbesar dalam Lapas salah satunya adalah narapidana yang menyandang status korban penyalahguna napza/narkotika. Jumlah inilah yang menjadi mayoritas penghuni lapas. Sedangkan narapidana Korupsi hanya sedikit angkanya tidak mencapai 2% dari total penghuni.
Kapasitas | 118.969 |
Jumlah Penghuni (Napi dan Tahanan)/ Juli 2016 | 197.670 |
Narapidana Kasus Narkotika | 60.818 |
Narapidana Kasus Narkotika yang teridentifikasi sebagai pengguna | 20.411 |
Narapidana Kasus Korupsi | 3.632 |
Catatan : Data sampai dengan Juli 2016
- Korban Narkotika Anak tiri Negara?
Revisi PP 99 selain masih menyisakan potensi menutup pemberian remisi bagi pengguna narkotika, juga tidak mengandung semangat harm reduction. Dalam konteks harm reduction, mestinya semua kebijakan negara ditujukan untuk mengurangi dampak buruk bagi pengguna dan pecandu narkotika, salah satunya adalah pemenjaraan.
Dalam Revisi PP 99, sekali lagi tidak memberikan kekhususan terkait kualifikasi pengguna narkotika. Hal ini sesungguhnya dapat dipahami sebab dalam hukum narkotika di Indonesia, ada masalah besar dalam pengkualifikasian antara pengguna narkotika dengan “bandar”. Dalam catatan ICJR, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, lebel bandar dan pengguna hanya dipisahkan oleh pasal-pasal penguasaan dalam narkotika yang terkenal karet, sehingga, banyak pengguna dan pecandu narkotika yang dikategorikan sebagai “bandar”. Dengan kata lain, jumlah pengguna dan pecandu narkotika secara faktual dan empiris lebih banyak dari data resmi yang dikeluarkan pemerintah. Sekali lagi, karena UU Narkotika gagal untuk secara tegas mengidentifikasi dikotomi antara bandar dan pengguna atau pecandu.
Data penelitian tahun 2016, di PN Surabaya misalnya, dakwaan tertinggi yang dijatuhkan bagi pengguna dan pecandu narkotika adalah pasal-pasal dengan lebel “bandar”. Temuan ICJR, 61% dakwaan yang diajukan Jaksa pada pengguna dan pecandu narkotika mencantumkan Pasal 111 dan 112 UU Narkotika, Pasal-Pasal ini adalah pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pengguna dan pecandu narkotika dengan ancaman pidana yang sangat tinggi, yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun. Pasal-pasal ini juga secara otomatis mengategorikan seorang pengguna dan pecandu sebagai “bandar”, dengan kata lain, pada mereka, tidak dapat diberikan rehabilitasi. Temuan ICJR di PN Surabaya, sejalan dengan penggunaan pasal “bandar” tersebut, 94% pengguna dan pecandu narkotika, dijatuhi pidana penjara.
Sebagai catatan, ICJR mendorong adanya perubahan UU Narkotika dalam konteks delik pidana untuk lebih menjamin hak-hak pengguna dan pecandu narkotika guna mendapatkan rehabilitasi dari negara.
Celah untuk menutup remisi bagi pengguna dan pecandu narkotika tidak dirubah dalam Revisi PP 99, Pasal 32 ayat (4) PP Revisi masih menggunakan syarat bagi terpidana kasus narkotika dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. Dengan ketentuan ini, seakan Kemenkumham menutup mata bahwa banyak pecandu dan pengguna narkotika yang terkena ancaman pidana dengan pasal “bandar” sebagaimana disebutkan di atas.
Dibanyak negara, pecandu dan pengguna narkotika tidak lagi dipenjara, negara Seperti Portugal dan Ceko telah menerima banyak manfaat dari kebijakan yang lebih mengutamakan aspek kesehatan publik dari pada perang dengam biaya tinggi. Bagi Indonesia, langkah awal dimulai dengan memastikan sedini mungkin tidak ada pengguna dan pecandu narkotika yang harus sekarat di ruang-ruang tahanan dan penjara karena minimnya akses pada kesehatan. Sebagai catatan, berdasarkan Riset ICJR pada 2014, tingginya tingkat kepadatan memperparah buruknya kondisi kesehatan penghuni di dalam penjara. Anggaran kesehatan mengalami pemotongan yang signifikan akibat defisit anggaran negara. Bahkan anggaran layanan kesehatan bagi penghuni ditiadakan pada tahun anggaran 2014, apalagi rehabilitasi.
Dengan kondisi hukum narkotika yang sangat buruk ini, Pemerintah justru mengarahkan perubahan kebijakan ke arah salah sasaran. Seharusnya, pelonggaran remisi diarahkan kepada korban narkotika yaitu pengguna dan pecandu, yang sebetulnya tidak layak masuk dalam penjara. Apalagi SEJA SEMA terkait pengguna dan pecandu harus masuk rehabilitasi, mengalami kegagalan dalam praktik, karena kebijakan aparat penegak hukum kita ternyata lebih bersemangat memasukkan mereka (pengguna/pecandu) ke penjara. Akibatnya sebagian penjara kita berubah menjadi minimarket narkotika.
Rekomendasi
Khusus bagi terpidana yang di kualifikasi sebagai penyalahguna narkotika perlu diberikan syarat remisi yang lebih spesifik agar sesuai dengan kebijakan Harm Reduction. Hal ini untuk mendorong adanya perubahan remisi korban penyalahguna Narkotika dalam konteks delik pidana untuk lebih menjamin hak-hak pengguna dan pecandu narkotika guna mendapatkan program rehabilitasi dari negara.