Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara membenarkan adanya temuan kerangkeng berisi manusia di kediaman Bupati Langkat yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perkembangan selanjutnya kemudian pihak Polda Sumut justru mengklarifikasi perihal perbudakan, dengan menyatakan bahwa praktik tersebut adalah rehabilitasi pengguna narkotika, para korban bekerja di perkebunan sawit milik Bupati tersebut, dimana juga dinyatakan keluarga korban menyepakati adanya proses rehabilitasi.
Kami mengkritisi pernyataan yang dilontarkan oleh pihak kepolisian tersebut. Kami juga mengkritisi pernyataan polisi yang menyebut para korban sebagai “Warga Binaan”. Hal ini adalah kesalahan fatal yang disampaikan pihak Kepolisian. Bupati tidak memiliki kewenangan untuk melakukan rehabilitasi, baik kepada pengguna narkotika, maupun kepada siapapun atas dasar kewenangannya. Bupati juga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan, kewenangan itu hanya dimiliki oleh Dijen PAS di bawah Kementerian Hukum dan HAM, sehingga korban adalah korban bukan warga binaan.
Praktik perampasan kemerdekaan disertai dengan adanya praktik eksploitatif menandakan adanya dugaan tindak pidana perdagangan orang. Hal ini dilarang dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), bahwa aspek yang harus diperhatikan atas tindakan ini bahwa dugaan adanya proses, cara dan tujuan yang eksploitatif menandakan adanya dugaan terjadinya TPPO. Selama ada proses perampasan kemerdekaan dalam hal ini berbentuk penampungan, ada cara-cara yang melawan hukum apalagi melibatkan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan eksploitatif maka dapat dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana perdagangan orang, sehingga harus diusut oleh penyidik.
Sebagai catatan juga, dalam Pasal 26 UU PTPPO bahwa Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana jabatan juga dapat dijerat kepada pelaku, misalnya dalam Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, hal ini berkaitan dengan perampasan kemerdekaan yang dilakukan. Jelas dengan hal tidak dengan mudah menyatakan tidak ada pidana pada praktik ini.
Atas praktik ini, maka keadilan dan pemulihan korban harus menjadi perhatian. Penyidikan tindak pidana harus selalu dibarengi dengan upaya pemulihan korban. Pelaku adalah pejabat dengan kuasa yang sumber daya begitu besar untuk melakukan penyimpangan, terhadap pelaku harus dibebankan pertanggungjawaban untuk pemulihan korban. Sita aset untuk ganti kerugian korban harus diupayakan.
Praktik ini juga menjadi cambuk perbaikan kebijakan narkotika. BNNK diketahui sempat mengetahui praktik ini pada 2017, namun tidak melakukan langkah konkret untuk mencegah terjadinya praktik tidak manusiawi ini. Rehabilitasi jelas tidak dengan tindakan eksploitatif dan kekerasan seperti yang dilakukan. Saat ini terdapat Peraturan Menteri Sosial No. 9 tahun 2017 tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya dan BNN memiliki SNI 8807:2019 tentang Penyelenggara layanan rehabilitasi bagi pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA). Dalam kedua standar tersebut, tidak ada legitimasi untuk menggunakan instrumen pengekangan ataupun perampasan kemerdekaan sebagai suatu proses rehabilitasi. Tidak responsifnya BNNK terhadap praktik ini menandakan pentingnya evaluasi menyeluruh praktik rehab yang ada, selama ini BNN tidak pernah menyediakan informasi yang komprehensif mengenai praktik rehabilitasi tersebut.
Praktik ini juga terkait dengan adanya penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan bermartabat manusia. Seolah menggunakan narkotika adalah bentuk kesalahan begitu besar sehingga perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan diperkenankan.
Untuk itu, ICJR menuntut agar Lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, dapat segera melakukan pemantauan dan pengawasan dalam pengusutan kasus ini. Investigasi independen harus dilakukan KuPP untuk meng-counter narasi yang seolah membenarkan praktik ini dari Kepolisian.
Hal lain, ICJR meminta Presiden untuk memerintahkan Kapolri untuk melakukan penyidikan lebih lanjut terkait dengan peristiwa ini. Presiden juga harus mengevaluasi jajarannya apabila ada yang diduga terlibat atau mengetahui adanya praktik ini. Presiden juga harus segera memastikan bahwa UU Narkotika direvisi dengan pendekatan Kesehatan untuk menghindarkan adanya stigma atas kriminalisasi pengguna dan pecandu narkotika yang dapat berujung pada praktik penyiksaan, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Jakarta, 25 Januari 2021
ICJR
CP: Erasmus Napitupulu (Direktur Eksekutif ICJR)