AILA dalam pernyataan sikap yang dikeluarkannya pada 20 September 2020 menyampaikan beberapa poin mengenai perdebatan pendidikan “sexual consent”. Dalam pernyataan tersebut, AILA menekankan bahwa pendidikan yang berbasiskan pengetahuan mengenai persetujuan, justru tidak akan menyelesaikan problem kejahatan seksual dan membuka ruang bagi kebebasan seksual karena tidak mempedulikan legal atau tidaknya hubungan seksual tersebut. ICJR memandang, poin-poin di dalam pernyataan sikap AILA ini saling kontradiktif dan mengandung kesesatan informasi yang harus diluruskan.
Perlu diketahui, bahwa dalam hukum pidana, hubungan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan, apabila di dalamnya mengandung unsur ketiadaan consent atau persetujuan. Persetujuan ini menjadi poin yang sangat penting untuk dapat membuktikan apakah memang seseorang melakukan tindak pidana atau tidak. Persetujuan ini juga menjadi poin yang penting, yang memberikan legitimasi bagi negara, untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan pribadi warganya. Dalam hubungan seksual yang tidak didasari oleh persetujuan, Negara diharuskan hadir guna memberikan perlindungan bagi korban. Sebaliknya, dalam perbuatan yang didasari dengan persetujuan, Negara tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk dapat mengintervensi. Jika berbicara tentang legal atau tidak legalnya hubungan seksual, artinya kita akan masuk ke dalam diskursus mengenai ada atau tidaknya consent, bukan hanya sekedar status legal kependudukan/perkawinan semata.
Konsep persetujuan yang diberikan oleh para pihak, harus dibedakan dengan konsep legalisasi yang diberikan oleh negara terhadap status hukum warga negaranya. Persetujuan dan legalisasi adalah hal yang berbeda sama sekali. Legalisasi hanyalah sebuah pernyataan yang diberikan negara berkaitan dengan hubungan hukum kedua belah pihak yang terlibat dan bukan kemudian menjadi pernyataan bahwa consent diberikan seutuhnya sejak waktu legalisasi diberikan hingga dinyatakan sebaliknya.
Legalitas dari status sebuah hubungan antar individu yang melakukan hubungan seksual, bukanlah menjadi ukuran apakah suatu hubungan seksual dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam kerangka hukum pidana di Indonesia bahkan, perkosaan yang dilakukan di dalam perkawinan, dikriminalisasi berdasarkan ketentuan Pasal 46 UU PKDRT. Tidak hanya itu, dalam Pasal 288 KUHP, dimuat pula kriminalisasi terhadap setiap orang yang melakukan hubungan seksual dengan anak perempuan di bawah umur yang mengakibatkan luka, meskipun keduanya sudah terlibat dalam lembaga perkawinan.
Logika berpikir yang menempatkan kekerasan seksual sebagai hubungan seksual dalam hubungan yang tidak diakui oleh negara maupun agama saja, dengan mengabaikan pentingnya keberadaan consent atau persetujuan, jelas merupakan logika berpikir yang sesat. Alih-alih memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual, logika pikir seperti ini justru akan menormalisasi adanya penghakiman dan mengabaikan pengalaman korban karena tidak memenuhi standar “legalitas” yang digunakan oleh AILA.
Maka dari itu, pendidikan seksual yang memberikan pemahaman mendalam mengenai persetujuan untuk dapat menurunkan angka kekerasan seksual, sejatinya merupakan hal yang sangat tepat. Tanpa adanya pengajaran mengenai pemahaman apa itu persetujuan, bentuk-bentuk persetujuan, maupun kapan seseorang dapat memberikan persetujuannya, justru upaya-upaya pencegahan kekerasan seksual akan semakin sulit dilakukan.