TEMPO.CO, Jakarta – Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menilai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) Nomor 19 Tahun 2014 ihwal penanganan situs Internet bermuatan negatif, seperti pornografi, oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memiliki sejumlah kelemahan mendasar.
Menurut dia, pembatasan atau pemblokiran terhadap konten Internet harus diatur dalam undang-undang bukan dari peraturan menteri. “Harus diatur dalam wadah UU bukan peraturan menteri yang bersifat teknis,” ujarnya ketika konferensi pers bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat lain di Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 10 Agustus 2014. (Baca: Pemerintah Blokir 27 Video ISIS di Internet)
Alasannya, menurut Wahyudi, pemblokiran terhadap konten Internet berkaitan dengan hak asasi manusia karena membatasi hak seseorang untuk berekspresi dan berinformasi. Untuk itu, menurut dia, jika terkait dengan hak asasi manusia, maka harus diatur dalam wadah undang-undang, bukan sekedar peraturan menteri. “Segala bentuk pembahasan hak asasi harus diatur dalam wadah undang-undang,” ujar Wahyudi.
Dengan undang-undang, akan terjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, yang diwakili oleh DPR, serta memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya. (Baca: Menkopolkam Perintahkan Tifatul Blokir Konten ISIS)
Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara juga mengatakan kebebasan itu bisa dibatasi, namun caranya melalui undang-undang. “Silakan saja buat peraturan, tetapi harus melalui undang-undang,” ujar Anggara yang juga hadir dalam konferensi pers.
Menurut Anggara, UU bisa mengatur mengenai prosedur pembatasan, sampai tata cara membatasi. Selain itu, Anggara menilai Kemenkominfo tidak bisa sendirian membuat peraturan pemblokiran konten Internet. Harus ada badan lain yang lebih kompeten dalam melakukan penilaian apakah suatu situs dikatakan bermuatan negatif atau tidak. Menkominfo harus melakukan permohonan ke pengadilan. “Pengadilan meminta ke jaksa untuk memblokir atau menutup suatu situs yang dinilai negatif,” ujarnya.
Menurut Anggara, pengadilan sebagai lembaga penegakan hukum bisa menerima pengaduan. Sementara Kemenkominfo bertugas sebagai pengeksekusi. “Semua berdasarkan prosedur UU, dan aparat yang minta pemblokiran itu penegak hukum, dia (Tifatul Sembiring) bukan penegak hukum,”
Anggara menduga ada penggunaan kekuasaan yang terlalu besar di tangan Menkominfo. Kemenkominfo, menurut dia, adalah salah satu kementerian yang paling sedikit membuat UU baru setelah terakhir soal penyiaran. Tifatul Sembiring lebih banyak membuat peraturan-peraturan langsung di bawah menteri. “Saya menduga Kementerian ini tertutup dan tak membuka secara terbuka kepada publik,” ujar Anggara. (Baca: Ini Respons Amir Syamsudin Soal Blokir Video ISIS)
Kemenkominfo baru saja mengeluarkan Permen Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Semenjak awal kehadiran Permen ini telah mendapat penolakan dari sejumlah pihak, karena materinya yang dinilai mengekang kebebasan berekspresi dan hak untuk memperoleh informasi.
PRIO HARI KRISTANTO
sumber : http://www.tempo.co/read/news/2014/08/10/078598545/Kominfo-Dinilai-Tidak-Berwenang-Blokir-Konten