Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), istilah yang diperkenalkan Rancangan KUHAP tahun 2012 untuk menggantikan praperadilan diyakini belum mampu menjawab mendasar yang selama ini terjadi. Salah satu penyebabnya karena konsep HPP yang diusung dalam Rancangan pada dasrnya tidak berbeda dengan lembaga praperadilan yang hingga kini masih berjalan. Demikian antara lain kesimpulan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
ICJR menekankan bahwa masih ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan agar problem yang telah terjadi selama ini di bawah konsep praperadilan tidak lagi terulang di masa mendatang. Salah masalah penting adalah pemberian wewenang penuh kepada penyidik untuk penetapan tersangka. Pemberian wewenang mutlak dalam hal penetapan tersangka tanpa ada peninjauan dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan justru akan mengulangi masalah yang terjadi saat ini dalam lembaga Praperadilan
Menurut ICJR konsep HPP tersebut masih sama seperti praperadilan yang memberikan kewenangan absolut kepada penyidik untuk menentukan keterpenuhan bukti permulaan yang cukup untuk menentapkan seseorang menjadi tersangka, dan bukti yang cukup untuk melakukan penahanan. Absolutnya kewenangan ini pada akhirnya menyebabkan kewenangan penyidik tidak dapat dikontrol, termasuk dalam menentukan pengenaan penahanan terhadap seseorang.
ICJR memandang bahwa setiap upaya tahapan proses dalam sistem peradilan pidana harus melalui peninjauan oleh pengadilan (judicial scrutiny) termasuk terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik. Dengan kata lain, walaupun dimungkinkan menetapkan orang sebagai tersangka, tapi post factumnya harus tunduk pada pengujian judicial dan bukan mendasarkan pada diskresi.
ICJR menyesalkan bahwa praperadilan sebagai mekanisme komplain hingga saat ini tidak berjalan efektif. Padahal, semangat melalui praperadilan ketika pembentukan KUHAP sangat erat kaitannya dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sesuatu yang tidak terwujud ketika HIR berlaku. ICJR melihat ada problem krusial dalam design sistem peradilan pidana di Indonesia terutama pada tahap pra-ajudikasi, yang pada akhirnya berdampak pada tidak efektifnya praperadilan sebagai mekanisme komplain.
Terkait dengan hal tersebut, ICJR bersama Koalisi KUHAP merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
Diserahkannya Rancangan KUHAP oleh Pemerintah ke DPR merupakan langkah konkrit yang menggambarkan adanya keinginan kuat untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia yang sudah tidak lagi dapat menjawab perkembangan yang ada. Oleh karena itu, semua pihak harus mengapresiasi dan mendorong para pemangku kewenangan, terutama DPR, agar sungguh-sungguh dalam membahasnya.
Meskipun telah ada kemajuan-kemajuan dalam Rancangan KUHAP, termasuk materi tentang lembaga pengawas –mekanisme komplain, namun masih terdapat beberapa problem krusial yang harus diperhatikan agar problem-problem yang selama ini terjadi di bawah konsep praperadilan, tidak lagi terulang di masa mendatang. ICJR menekankan agar dalam pembahasan Rancangan ini nantinya, paradigma para pembahas (DPR) harus berlandas pada pengentasan problem (problem solving) yang ada. Para pembahas harus memiliki peta persoalan yang selama ini terjadi untuk dijadikan dasar dalam menentukan kebijakan, terutama terkait dengan lembaga pengawas-mekanisme komplain.
Penyediaan mekanisme komplain di dalam KUHAP sesungguhnya memiliki ikatan kuat dengan penjaminan hak asasi manusia. Pemberian kewenangan yang besar (diskresi) kepada penyidik selama ini terbukti telah menimbulkan inkonsistensi antara kedua hal tersebut. Maka, ICJR mendesak agar revisi terhadap materi mekanisme komplain ini harus dikembalikan lagi kepada tujuan utamanya yakni perlindungan hak asasi manusia dengan melepaskan diskresi penyidik dalam setiap tahapan peradilan pidana dan memberikan wewenang kepada pengadilan untuk melakukan peninjauan terhadap setiap tahapan dalam proses peradilan pidana