Dalam hukum hak asasi manusia internasional, pemberlakuan pidana mati hanya ditujukan kepada perbuatan yang digolongkan sebagai the most serious crimesSelain itu putusan pidana mati tersebut harus hadir dari peradilan dengan standar tinggi, adil dan imparsial. Dalam konteks Indonesia, perjuangan mengakhiri pidana mati di Indonesia nampaknya masih panjang dan akan terus berlanjut. Dengan berbagai komitmen yang sudah dilontarkan Indonesia dalam berbagai forum Internasional tidak membuat Indonesia segera menghapuskan pidana mati. Praktiknya berbicara lain, pidana mati masih terus dilakukan. Tuntutan dan Putusan pidana mati masih terjadi di Indonesia.
Komitmen moratorium pidana mati yang sudah dinyatakan oleh Indonesia sebenarnya dapat dibuktikan dengan langkah nyata lewat reformasi kebijakan pidana. Pada 2018, Indonesia membahas secara serius beberapa rancangan udang-undang yang juga menimbulkan perdebatan tentang pidana mati, yaitu RUU Perubahan UU Terorisme yang disahkan pada Mei 2018 dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga saat ini masih dibahas di DPR. Alih-alih menghapus pidana mati, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang justru kembali mengatur pidana mati sebagai salah satu hukuman untuk tindak pidana terorisme.
Dalam pembahasan R KUHP, meskipun pemerintah berkeras bahwa pidana mati diatur sebagai pidana “alternatif”– sebagai upaya untuk mengkompromikan golongan retentionist dan abolitionist -, namun jika dilihat lebih jauh, rumusan yang diberikan hanya sebuah konsep yang diragukan akan mengurangi praktik pidana mati, rumusan tindak pidana masih dengan mudah memasukkan pidana mati sebagai hukuman.
Komitmen Indonesia lainnya dalam UPR 2017 adalah mengenai dukungan Indonesia untuk menjamin hak atas peradilan yang adil dan hak atas akses upaya hukum bagi orang yang sedang dituntut hukuman mati atau tervonis mati. Indonesia berkomitmen bahwa setiap orang yang dipidana mati harus memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan terhadap dirinya. Sayangnya respon dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung berbeda dari sikap resmi pemerintah Indonesia. Kejaksaan Agung menilai putusan ini akan menghambat proses eksekusi mati terhadap beberapa terpidana karena terpidana tersebut akan mengajukan peninjauan kembali untuk kedua kalinya. Mahkamah Agung bahkan dengan sengaja mengabaikan putusan MK dengan mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang menganulir hak terpidana untuk mengajukan PK secara berkali kali.
Daftar terpidana mati juga masih panjang, berdasarkan data yang diperoleh pada 9 Oktober 2018, tercatat terdapat 219 orang terpidana mati dalam seluruh Lapas di Indonesia. Hal ini menujukkan bahwa penggunaan hukuman mati masih menjadi trend di 2018 dan menambah deret Panjang fenomena death row yang berdampak baik secara fisik maupun psikis dari terpidana mati di Lapas tanpa ada kepastian yang jelas.
Tantangan masih banyak dan perjuangan penghapusan pidana mati di Indonesiamasih harus menghadapi jalan terjal.
Unduh Laporan Disini
—
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut berikut ini icjr.or.id/15untukkeadilan