“Penting mengadopsi konvensi internasional mengenai perlindungan saksi dan korban”
hukumonline.com. Pemilu anggota legislatif sudah berlalu. Beberapa anggota Komisi III DPR yang selama ini ikut membahas RUU KUHAP tidak terpilih lagi; sebagian mungkin adalah anggota baru. Perubahan komposisi anggota Komisi Hukum DPR seharusnya tak menjadi alasan untuk menunda atau menghentikan proses pembahasan RUU KUHAP.
Demikian antara lain intisari diskusi ‘Penguatan Perlindungan Saksi dalam RUU KUHAP’ yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Koalisi Perlindungan Saksi, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) di Jakarta, Rabu (16/4).
“Kurang tepat kalau dihentikan,” tandas Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai.
Dijelaskan Semendawai, proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP sudah berlangsung lama. Dalam usia 33 tahun lebih, KUHAP sudah layak diperbarui, terutama karena konsekuensi perkembangan hukum. Jika hanya karena terjadi perubahan komposisi anggota Dewan, ini tidak cukup alasan untuk menghentikan pembahasan.
Bahkan Semendawai yakin dalam masa transisi ini anggota Komisi Hukum DPR masih punya komitmen untuk menyelesaikan pembahasan. Agar cepat rampung, Semendawai mengusulkan, pasal-pasal krusial dihindari atau ditinggalkan dulu. Jika berhasil menyelesaikan RUU KUHAP, kata dia, DPR melahirkan sebuah ‘legacy’ yang dikenang orang.
Cuma, upaya membahas dan merampungkan RUU KUHAP tidak mudah. Selain Daftar Isian Masalahnya (DIM) lebih dari seribu, sebagian kalangan memandang pembahasan KUHP (hukum materiil) harus lebih dahulu diselesaikan baru KUHAP (hukum formil). Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin sudah memberikan sinyal tentang prioritas KUHP dibanding KUHAP.
LPSK punya kepentingan untuk mengawal materi muatan tentang perlindungan saksi dalam RUU KUHAP. Apalagi masih ada beberapa yang penting diperjelas. Semendawai memberi contoh posisi LPSK dalam sistem peradilan pidana terpadu. Ironisnya, RUU KUHAP sama sekali belum menginisiasi langsung nama LPSK, meskipun lembaga ini tegas-tegas diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006.
Anggota Koalisi Perlindungan Saksi, Zainal Abidin, berpendapat saat ini adalah momentum yang pas bagi anggota DPR untuk merampungkan RUU KUHAP. Salah satu yang penting dimasukkan, kata dia, adalah konvensi atau kovenan internasional yang sudah diratifikasi. “Ini momentum untuk memberikan perlindungan kepada korban yang selama ini kurang mendapat perhatian sistem peradilan pidana,” ujarnya.
Berkaitan dengan perlindungan saksi dan korban, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, kata Semendawai, memang masih punya kelemahan. Pertama, rumusan tentang paradigma perlindungan saksi dan korban belum lengkap. Misalnya mengenai batasan hak-hak yang diberikan dalam rangka perlindungan saksi dan korban. Kedua, pengaturan tentang hak-hak prosedural dan substansi saksi dan korban yang tidak lengkap. Ketiga, beban perlindungan saksi dan korban masih semata diletakkan kepada penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat), dan belum menyebut LPSK.
Jika masalah-masalah krusial diselesaikan dengan baik bukan mustahil RUU KUHAP bisa dirampungkan sebelum masa jabatan anggota DPR berakhir.
sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt534e367b34de1/lpsk-berharap-ruu-kuhap-dirampungkan