PK berkali-kali menjadi ‘senjata’ menghindari eksekusi. Substansi SEMA ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Di penghujung akhir tahun kemarin, Mahkamah Agung (MA) akhirnya menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) No. 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya sekali.
Mahkamah Agung berpendirian jika PK boleh diajukan berkali-kali dikhawatirkan instrumen hukum itu dijadikan ‘senjata’ bagi para gembong narkoba menghindari eksekusi mati karena mengajukan PK yang kedua setelah grasinya ditolak presiden.
“MA harus komit perang melawan narkoba sebagai kejahatan yang sangat serius dan terorganisir, membahayakan generasi muda di masa mendatang. Makanya, MA memandang perlu agar PK dalam perkara pidana dibatasi hanya sekali,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur saat dihubungi hukumonline, Kamis (01/1) kemarin.
SEMA itu diteken Ketua MA Hatta Ali pada 31 Desember 2014 dan dikirimkan kepada seluruh ketua pengadilan di seluruh Indonesia untuk dilaksanakan. MA menegaskan putusan MK itu dianggap sebagai putusan nonexecutable alias tidak bisa diimplementasikan dalam praktik. Sebab, Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebut terhadap putusan PK tidak dapat diajukan PK kembali.
Selain itu, Pasal 66 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA juga menegaskan pengajuan PK hanya dapat diajukan satu kali. Menurut Ridwan putusan MK yang menghapus Pasal 268 ayat (3) KUHAP pada 6 Maret 2014 tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan PK yang diatur di UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA itu. “Atas dasar itu, MA berpendapat permohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 kali. SEMA itu mengesampingkan putusan MK semata-mata karena tak sejalan dengan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA,” tegasnya.
Sebelumnya, lewat putusannya bernomor 34/PUU-XI/2013, MK membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang dibacakan pada 6 Maret 2014 lalu. Putusan ini mensyiratkan PK boleh diajukan berkali-kali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP.
Putusan MK itu sempat menimbulkan pro dan kontra terutama dari kalangan internal MA sendiri. Sebab, pembatalan ketentuan PK hanya satu kali dapat berimplikasi permohonan PK dapat diajukan berkali-kali oleh terpidana atau penuntut umum, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kritik SEMA
Terpisah, Pengamat Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin yang menilai keluarnya kebijakan pembatasan PK hanya sekali oleh MA tentunya tidak dapat dibenarkan. Sebab, konstitusi sudah menempatkan MA sebagai kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan sesuai Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
“Pencarian keadilan setiap warga negara hak konstitusional yang paling esensial. Negara cq MA tidak boleh menutup upaya setiap warga negara untuk memperjuangkan keadilan atas hak kebebasan dan kehidupannya,” ujar Irman saat dihubungi, Jum’at (2/1).
Baginya, negara tidak boleh “malas” melayani pencarian keadilan untuk kehidupan dan kebebasan setiap umat manusia selama terdapat adanya keadaan baru yang bisa membuktikan sebaliknya bahwa terpidana tersebut tidak bersalah. “Atas dasar itulah, MK menyatakan ketentuan pembatasan PK dalam hukum acara pidana kita adalah inkonstitusional,” tegasnya.
Menurut dia putusan MK ini sudah menjadi hukum positif yang seharusnya dipatuhi MA yang setara kepatuhannya terhadap UUD 1945 sebagai produk MPR. Karenanya, SEMA pembatasan PK hanya sekali itu adalah inkonstitusional.
Dia menyarankan agar DPR menjalankan fungsi pengawasannya atas tindakan lagislatoris MA seperti ini, termasuk Komisi Yudisial harus proaktif. Sebab, bagaimanapun setiap sumpah hakim agung atau pejabat MA pasti tercantum untuk mematuhi UUD 1945.
“Apabila SEMA ini kemudian tetap berlaku dan dijadikan dasar menolak pengajuan PK , maka Putusan MA atas perkara pidana tersebut akan bisa inkonstitusional sehingga lembaga eksekutor (kejaksaan) kehilangan basis konstitusional untuk akan atau terus mengeksekusinya.”
Sementara Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) berpendapat pengaturan pembatasan PK melalui SEMA tidak tepat. Sebab, setiap pembatasan terhadap hak asasi seyogyanya diatur dengan undang-undang sesuai ketentuan Pasal 28 J UUD 1945.
Ketua Badan Pengurus ICJR, Anggara menilai MA telah melupakan prinsip lex specialis derogat legi generalis terkait pembentukan SEMA Pembatasan PK itu. Ia mengingatkan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA yang dijadikan sandaran pembentukan SEMA itu mengatur PK untuk semua perkara (Perdata, TUN, Agama). Namun, khusus perkara pidana pengaturan PK sudah diatur secara khusus dalam KUHAP.
“MA semestinya berhati-hati menerobos prinsip hukum yang sudah lama dianut dalam negara-negara hukum modern itu. Dengan melanggar prinsip ini, MA telah mengingkari prinsip negara hukum yang dianut dalam UUD 1945,” tegas Anggara.
Meski begitu, ICJR tetap menolak hukuman mati, namun pidana mati masih dianggap sesuai dengan konstitusi menurut Putusan MK. Karena itu, pengajuan PK (terlebih pengajuan PK kedua) oleh terpidana pada dasarnya tidak dapat menghalangi eksekusi terhadap terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati.
“Kalaupun Jaksa Agung enggan mengeksekusi terpidana mati karena masalah pengajuan PK oleh terpidana, mestinya Jaksa Agung juga tidak menuntut terdakwa dengan hukuman mati,” kritiknya.
Sumber: HukumOnline.com