Salah satu hal yang cukup krusial yang diakomodir dalam rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) adalah perumusan ulang jenis kekerasan seksual sebagai tindak pidana dan penetapan beberapa unsur-unsur perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Perumusan dalam rancangan ini dinilai cukup berbeda jika dibandingkan dengan UU yang telah ada. Selain itu, rumusanRUU PKS juga mengatur peran dan tugas Lembaga Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pencegahan, perlindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual.Perjalanan perumusan rancangan udang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual dimulai dengan disusunnya rancangan undang-undang ini oleh Komnas Perempuan bersama dengan Forum Pengada Layanan pada pertengahan tahun 2014. Komnas Perempuan bersama dengan FPL melalui RUU PKS mendorong beberapa reformasi hukum terkait dengan kekerasan seksual.
Pada 23 Agustus 2016, Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) secara resmi menyerahkan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) kepada Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pada saat itu DPR menerima naskah akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan menjadikannya sebagaiUU inisiatidf dari DPR dengan ditandatangani 70 anggota DPR.Tindak lanjut usulan ini ditandai dengan dikirimkannya Rancangan Udang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah menjadi usulan DPR dengan beberapa perubahan kepada pemerintah pada 6 April 2017 melalui surat dengan nomor LG/06211/DPR RI/IV/2017.
Menanggapi terbitnya surat ini dan rampungnya daftar invetarisasi masalah versi DPR, maka pada tanggal 2 Juni 2017 Presiden Joko Widodo menerbitkan surat dengan nomor R.25/Pres/06/2017 yang menugaskan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Menteri Hukum dan HAM baik sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Tanggapan lanjutan dari perintah tersebut ditunjukkan dengan disusunnya Daftar Investarisasi Masalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sehingga nantinya pada saat pembahasaan, maka baik RUU maupun DIM pemerintah akan dibahas dalam pembahasan RUU di DPR. Jika dibandingkan, antara DIM versi DPR dengan DIM Pemerintah, terdapat beberapa aspek yang menunjukkan adanya perbedaan sikap antara DPR dengan Pemerintah dalam upaya melakukan penanganan kasus kekerasan seksual.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebelumnya telah menyusun paper yang membahas tentang hak korban dalam rancangan UU penghapusan kekerasan seksual versi Komnas Perempuan, paper tersebut mencoba menggali lebih jauh bagaimana ketentuan legislatif yang ada selama ini kurang mengakomodir hak-hak korban khususnya hak korban kekerasan seksual yang membutuhkan pendekatan khusus. Sedangkan paper ini disusun bertujuan memberikan gambaran kepada publik mengenai sikap DPR dan pemerintah atas beberapa ketentuan kunci yang akan menjadi pokok-pokok pembahasan RUU ini.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berharap melalui identifikasi DIM ini, pembahasan RUU PKS di DPR nantinya akan berjalan dengan optimal. Bagaimanapun juga pentingnya Undang-undang ini terletak dari kekhususan rumusan yang diatur didalamnya. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual harus mampu mereformasi ketentuan hukum yang ada, guna mengakomodir pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual yang sebelumnya tidak diatur secara komprehnsif dalam undang-undang lainnya.
Unduh Disini