RKUHP saat ini, jika ditelisik lebih jauh terbukti hampir seluruh materi dalam KUHP yang saat ini berlaku (UU No. 1 Tahun 1946), tetap dicantumkan di dalamnya. Jadi pada dasarnya ‘kita’ tetap mengakui materi-materi buatan Belanda tersebut. Materi-materi yang ada pada dasarnya hanyalah penambahan-penambahan belaka dari KUHP saat ini, ditambah beberapa modifikasi atas Buku I yang mayoritas modifikasinya ternyata justru membuat apa yang sudah jelas dalam KUHP menjadi “tidak jelas”.
Masalah lainnya yang perlu menjadi sorotan ialah masih dicantumkannya pidana mati sebagai salah satu bentuk hukuman. Hukuman mati (capital punishment) ini, meski dinyatakan akan diberlakukan secara selektif, dan pelaksanaannya ditinjau ulang oleh Menteri Hukum dan HAM, tetap merupakan pengaturan yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Tidak kurang dari 15 pasal yang mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidananya. Perancang undang-undang tampaknya tidak terganggu sedikitpun dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan jaminan konstitusional terhadap hak atas hidup sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun, dan dengan alasan apa pun (non derogable rights). Munculnya ketentuan ini juga tidak sejalan dengan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Begitu pula dalam Buku II RKUHP, hampir seluruh tindak pidana yang ada dalam KUHP yang berlaku saat ini, masih dipertahankan oleh perancang undang-undang. Bahkan ketentuan yang sebelumnya sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, dimasukan kembali sebagai tindak pidana. Hal ini seperti pencantuman kembali pasal-pasal hatzai artikelen (penghinaan terhadap presiden), ke dalam RKUHP (Pasal 265 dan 266).
Catatan yang lain, beberapa tindak pidana “baru” yang dirumuskan terlihat sudah terlalu jauh masuk ke wilayah paling personal orang yang mengganggu hak privasi warga negara (rights to privacy rights) yang berada dalam domain civil liberties, seperti kekebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi, kebebasan beragama, dan hak privasi lainnya. Selain itu terlihat, perumusan tindak pidana “baru” telah mencampur-aduk antara moralitas, dosa, adab kesopanan, dengan norma hukum, akibatnya hampir-hampir semua perbuatan dimasukkan sebagai tindak pidana. Kriminalisasi atas perbuatan-perbuatan tersebut bisa jadi akan meningkatkan gejala ‘victimless crime’—kejahatan tanpa korban. Padahal kecenderungannya, bentuk-bentuk kejahatan tanpa korban sudah banyak ditinggalkan negara-negara demokratis. Sebab perbuatan-perbuatan tersebut sebetulnya berada dalam tataran moralitas dan kesopanan, yang tidak semestinya dihadapi dengan hukum pidana. Kalau hampir semua perbuatan di wilayah privat ini dikriminalisasi, tidak berlebihan apabila kita katakan akan terjadi gejala “more laws but less justice”.
Kita memahami bahwa tujuan pembaharuan KUHP nasional adalah untuk mewujudkan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, selain untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Disamping itu, tujuan pembaruan KUHP adalah untuk menyesuaikan materi hukum pidana nasional dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembaruan hukum pidana dengan demikian harus diletakkan dalam memperkuat landasan bagi kehidupan bernegara secara demokratis dan melindungi hak asasi.
Akan tetapi dari tinjauan menyeluruh terhadap RKUHP 2012, terlihat bahwa semangat pembaruan KUHP tidak diletakkan dalam kerangka politik yang telah berubah tersebut, yang mengarah ke sistem demokrasi. Masih kental terlihat kesadaran atau cara berpikir warisan sistem otoriter bahkan kolonialitsik, dalam penyusunan RKUHP. Sinyalemen tersebut bisa dilihat dari besarnya keinginan negara untuk mengendalikan kebebasan warga negara. Makanya alih-alih mendemokratiskan hukum pidana, politik kriminal yang terkandung dalam RKUHP justru sebaliknya; mengancam kekebebasan dasar (civil liberties) dan hak asasi manusia. RKUHP lebih diarahkan untuk melindungi kepentingan politik negara dan kelompok masyarakat, ketimbang mencari keseimbangannya dengan kebebasan sipil dan hak-hak induvidu. Sehingga dapat dikatakan, politik kriminal yang mendasari perumusan RKUHP masih belum mengarahkan kepada demokratisasi hukum pidana, yakni mempromosi, menjaga dan melindungi HAM.
Bahaya “overcriminalization” di dalam materi RKUHP sangat kentara. Seperti ditunjukkan dalam uraian di atas, hampir semua perbuatan yang tak patut (baik dari segi agama, moral atau etika) atau tidak disukai, dikualifisir sebagai tindak pidana (delik). Terjadi kriminalisasi besar-besaran di dalam RKUHP ini, sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang merupakan pelanggaran terhadap adab kesopanan, dosa, dan mana yang merupakan delik. Kriminalisasi besar-besaran ini pada gilirannya akan mengarah kepada apa yang disebut “the misuse of criminal sanction”. Hukum pidana tidak lagi dilihat sebagai “ultimatum remedium”, tetapi difungsikan terutama sebagai instrumen “penekan” atau “pembalasan”. Hukum pidana dianggap sebagai ‘panacea’ untuk menjawab semua penyakit masyarakat.
Berangkat dari berbagai macam persoalan yang mengemuka di dalam materi RKUHP saat ini, maka kami merekomendasikan beberapa hal berikut ini:
1. Pemerintah dan DPR tidak memaksakan untuk melakukan re-kodifikasi secara menyeluruh terhadap KUHP yang berlaku saat ini, karena justru potensial akan memunculkan situasi kekacauan hukum. Pemerintah dan DPR bisa melakukan perubahan bertahap dengan langkah-langkah berikut ini:
Pertama, mengevaluasi secara menyeluruh delik-delik dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya yang sudah tidak tepat dalam situasi masyarakat saat ini, atau tidak sesuai lagi untuk dinyatakan sebagai kejahatan, sehingga perlu dilakukan dekriminalisasi.
Kedua, melakukan kajian yang komprehensif untuk memasukkan perbuatan yang memang mengharuskan untuk dikategorikan sebagai kejahatan, khususnya yang terkait dengan kejahatan kontemporer karena perkembangan zaman atau teknologi. Misalnya kejahatan pencucian uang, kejahatan dunia maya, dan lain sebagainya.
Ketiga, selain yang terkait dengan kemajuan zaman dan teknologi, unsur-unsur lainnya ialah yang terkait dengan perkembangan kejahatan-kejahatan internasional yang sudah diakui sebagai kejahatan, untuk dimasukkan sebagai kejahatan dalam hukum nasional. Dalam hal ini misalnya kejahatan penghilangan paksa, kejahatan penyiksaan, dan kejahatan serius lainnya, yang sudah diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional.
Keempat, memasukkan tindak pidana yang ada dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undang khusus ke dalam KUHP melalui undang-undang. Model-model revisi bisa merujuk pada revisi yang sudah pernah ada atau pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia sendiri, misalnya Perppu No. 16 Tahun 1960, UU No. 1/PNPS/1965, UU No. 4 Tahun 1976, dan UU 27 Tahun 1999, dan lain sebagainya.
2. Pembaruan politik hukum pidana lebih penting dan diperlukan untuk menjamin perlindungan kebebasan sipil dan kebebasan warga negara, ketimbang memperdebatkan persoalan semantik dan teknis rumusan pasal-pasal.
3. Pembaruan KUHP ini harus ditempatkan dalam rangka mengfungsikan hukum pidana dalam tatanan negara demokratis, bukan sebaliknya menjadi instrumen “penekan” bagi rezim yang berkuasa. Makanya, penyusunan RKUHP harus sedapat mungkin mendekatkannya pada standar baku hukum pidana modern, yang pada akhirnya membuat kita dapat “berdiri sama tegak” dan “duduk sama rendah” di tengah pergaulan antar bangsa.
Jakarta, 11 April 2013
Aliansi Nasional Reformasi KUHP
[ELSAM, ICJR, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, Wahid Institute, LeIP, LBH Jakarta, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, Demos, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, KRHN, MAPPI FH UI, ILR, ICEL, Desantara, WALHI, Yayasan Tifa, TURC, Jatam]
Unduh catatan kritis Aliansi Nasional Reformasi KUHP terhadap Rancangan KUHP[1]
- Unduh catatan kritis Aliansi Nasional Reformasi KUHP terhadap Rancangan KUHP: http://icjrid.files.wordpress.com/2013/04/meluruskan-arah-pembaruan-kuhp_catatan-kritis-anrkuhp-terhadap-rkuhp-1.pdf