“ICJR Menyesalkan Gagalnya Upaya Uji Sahih oleh Pemerintah”
Pada 27 September 2014 DPR Aceh mengesahkannya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat berlaku pada 28 September 2015. Qanun jinayah ini akan mulai berlaku setahun setelah diundangkan.
ICJR mengirimkan surat resmi tanggal 3 Februari 2015 kepada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri RI) dan meminta agar Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri RI) segera mengeluarkan hasil pengkajian ulang (review) terhadap Qanun Aceh tersebut dan segera mempublikasikan hasil pengkajian ulang (review) kepada masyarakat/ Publik.
Namun berdasarkan Informasi dari Kementrian Dalam Negeri tanggal 6 April 2015 kepada ICJR, Kementerian Dalam Negeri mengaku tidak memiliki otoritas untuk membatalkan Qanun-Qanun yang terkait Syariah Islam, karena sesuai dengan Pasal 235 UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun yang mengatur tetang pelaksanaan Syariat Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi Oleh Mahkamah Agung. Kementerian mengaku telah melakukan pembahasan Raqan (rancangan Qanun) Jinayat bersama Pemerintah Aceh dan telah menyampaikan masukan-masukan terhadap substansi yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi kepada Pemerintah Aceh. Namun hasil pembahasan tersebut tidak pernah disampaikan ke Kementrian Dalam Negeri sampai dengan ditetapkannya Qanun Jinayat tersebut menjadi Qanun No 6 Tahun 2014.
Pasal 235 UU No 11 Tahun 2006
(1) Pengawasan Pemerintah terhadap qanun dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan:
- kepentingan umum;
- antarqanun; dan
- peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam Undang- Undang ini.
(3) Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung
(5) Sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA, serta bupati/walikota dan DPRK, Pemerintah mengevaluasi rancangan qanun tentang APBA dan Gubernur mengevaluasi rancangan APBK.
(6) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat mengikat Gubernur dan bupati/walikota untuk dilaksanakan.
ICJR prihatin atas gagalnya upaya (eksekutif review/pengujian pemerintah) atas Qanun Jinayat tersebut. Seharusnya Qanun yang setara dengan Peraturan Daerah dapat di review lewat Kementerian Dalam Negeri. Ini juga menunjukkan bahwa ada masalah yang urgen terkait kewenangan Pemerintah untuk melakukan uji sahih atas produk yang di buat di Propinsi Aceh. Dalam Hal ini ICJR mendorong agar Pasal 235 UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebaiknya direvisi. Bagaimana mungkin hukum tertinggi Negara Indonesia (konstitusi maupun Undang-undang) bisa dikalahkan dengan qanun yang setara dengan Perda (peraturan daerah). ICJR juga mendorong agar Kemenndagri mempublikasikan seluruh masukan-masukan terhadap substansi yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi yang telah dikirimkan kepada Pemerintah Aceh tersebut.
ICJR memandang beberapa pasal terkait qanun tersebut memiliki masalah besar terutama dalam masalah pidana cambuk (corporal punishment). Paling tidak ada 10 tindak pidana utama (jarimah) yang diatur dalam qanun ini (pasal 3) yang mencakup 46 jenis tindak pidana dimana hampir semuanya memberikan ancaman pidana cambuk bagi pelakunya. Ancaman hukuman cambuk yang eksesif dalam qanun ini melanggar ketentuan undang-undang diatasnya yang berlaku di Indonesia yakni KUHP terutama dalam Pasal 1 KUHP, UU HAM, Konvensi Anti Penyiksaan. Oleh karena itu ICJR menganggap bahwa Qanun ini harusnya masuk dalam objek eksekutif review yang menjadi kewenangan Menteri Dalam Negeri.