“Penanganan Anak korban/saksi termasuk Diversi anak pengguna narkotika memerlukan kesepahaman dan kerja sama antar lembaga Negara”
Pada 22 Maret 2017, Mahkamah Agung (MA) didukung oleh EU-UNDP SUSTAIN (Program Uni Eropa untuk mendukung Peradilan di Indonesia), meresmikan fasilitas pengadilan anak di Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor.Dalam kesempatan yang sama, juga didorong penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Pihak dalam Penegakan Hukum Terpadu Sistem Peradilan Pidana Anak. Pihak yang dimaksud dalam Kesepakatan Bersama ini diantaranya Ketua Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Kepolisian Resort, Pemda, Kepala Bapas dan kepala Kantor Kementerian terkait.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), masuk dalam Tim yang ikut menyusun Kesepatan Bersama ini, tergabung juga dalam tim tersebut yakni: Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, Kementerian terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI).
Dalam kesepakatan bersama ini, didorong adanya kerjasama dan koordinasi yang efektif antar penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), sampai dengan Pengelolaan dan pengintegrasian data dan informasi penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Harapannya dapat meningkatnya efektivitas penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan, dan terpadu; lebih dari itu, target tertingginya adalah meningkatnya koordinasi dan kerjasama dalam upaya menjamin perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan Hukum.
Dalam konteks ini, ICJR pada mendukung penuh adanya kesepakatan bersama antara pihak dalam rangka mendorong efektifitas dari implementasi UU SPPA. ICJR menilai bahwa sejauh ini UU SPPA masih belum diterapkan dengan baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan ICJR, fokus utama terdapat pada penanganan anak dalam mekanisme diversi tanpa persetujuan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU SPPA serta pemenuhan hak bagi Anak Korban dan Anak Saksi. Dalam hal penanganan Anak (Pelaku), Poin paling penting dari Diversi yang ingin menghindarkan Anak dari proses peradilan akan lebih terlihat dampaknya pada Diversi tanpa persetujuan korban seperti yang diatur dalam UU SPPA, salah satunya tindak pidana tanpa korban. Dalam praktik persidangan, tindak pidana menggunakan narkotika dapat dikategorikan dalam kondisi ini, dimana tindak pidana dimana Anak merupakan korban dari tindakan itu sendiri
Data yang ditemukan ICJR pada riset tahun 2016 di Jakarta, terdapat 21 Anak yang terjerat kasus narkotika dari 91 Jumlah Anak dalam putusan di Pengandilan negeri se-Jakarta yang diriset. Dari 21 kasus tersebut, terdapat 11 kasus dimana Anak teridentifikasi atau terkonfirmasi adalah pengguna narkotika. Indikator dalam menentukan Anak teridentifikasi atau terkonfirmasi sebagai pengguna narkotika adalah penggunaan dakwaan oleh Jaksa yang memasukkan Pasal 127 UU Narkotika. Dengan dimasukkannya pasal pengguna, maka secara langsung Jaksa memahami ada skenario atau kondisi faktual dimana Anak menguasai, memiliki sampai dengan menggunakan Narkotika untuk kepentingan sendiri.
Sayangnya, aparat penegak hukum kurang mengindahkan pengaturan dalam UU SPPA yang mewajibkan diversi pada tingkat pertama dalam kondisi Anak pengguna narkotika. Selanjutnya, dari 11 kasus tersebut berikut, mayoritas anak dijatuhi pidana, 37% dijatuhi pidana penjara, 18% dikenai pidana pelatihan kerja. Terdapat 18% Anak yang akhirnya dikembalikan ke orang tua, hanya 9% atau satu kasus dimana anak dirahabilitasi medis.
Kondisi yang sama kurang lebih juga terjadi pada penanganan Anak Korban. Dari pemetaan terlihat paling tidak ada 5 (lima) institusi (Pemerintah-Negara) sebagai ujung tombak program layanan anak korban dan yang menyediakan layanan anak korban ada di Indonesia dari mulai kepolisian, Unit P2TP2A, kementerian Kesehatan sampai dengan Lembaga Perlindungan saksi dan Korban (LPSK). Setiap institusi memiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan jenis pidana yang dilanggar dan kewenangan yang diatur masing-masing regulasi. Problem ini menimbulkan dampak kepada beban sinergi dan koordinasi institusi penyedia layanan.
Situasi ini menimbulkan kesulitan bagi akses anak korban karena secara awam sulit untuk memastikan ke mana mereka akan melakukan pelaporan dan akses terhadap layanan yang tersedia. Di sisi lain tidak dapat ditindak lanjuti karena terkendala oleh terbatasnya lembaga layanan dan pekerja sosial sampai dengan kondisi geografis. Problem lainnya adalah soal pendataan Anak korban yang terintegrasi, fakta menunjukkan bahwa data-data anak korban dan penanganan secara nasional belum di miliki Indonesia.
Atas dasar kondisi inilah, ICJR menilai sangat penting adanya kesepahaman antar institusi dan lembaga Pemerintah terkait. Dalam Pandangan ICJR, persoalan Anak dalam kasus Anak pengguna dan pecandu narkotika sebagai tindak pidana tanpa korban serta penanganan Anak korban/saksi sangat memerlukan adanya kesepahaman dan kerja sama terintegrasi antar lembaga negara tersebut. Oleh karena itu ICJR mendukung penuh peran Mahkamah Agung (MA) dan EU-UNDP SUSTAIN dalam kerja-kerja mendorong efektifitas implementasi UU SPPA terkait pula anak saksi/korban dan diversi anak pengguna narkotika.