Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia – DUHAM). DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, termasuk cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik. Hal ini dapat dicapai salah satu dengan diciptakannya kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik yang diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional.
Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang Kovenan tentang hak sipil dan politik memuat sebanyak mungkin ketentuan Pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Komisi HAM PBB tersebut berhasil menyelesaikan rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan Majelis Umum PBB pada 1951, dan setelah dilakukan pembahasan Pasal demi Pasal, pada akhirnya Majelis Umum PBB melalui Resolusi No.2200 A (XXI) mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dan Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (Opsional Protokol Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik secara bersama-sama pada 16 Desember 1966 dan berlaku pada 23 Maret 1976.
International Covenant on Civil and Political Rights atau biasa disingkat dengan ICCPR bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Konvenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 BAB dan 53 Pasal.
Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR pada 28 Oktober 2005 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang disertai dengan Deklarasi terhadap Pasal 1 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Pengertian Hak Sipil dan Politik
Dalam kovenan hak sipil dan politik tidak memberikan pengertian secara definitif tentang hak sipil dan politik. Namun menurut Ifdhal Kasim dalam bukunya yang berjudul hak sipil dan politik, cetakan pertama tahun 2001, beliau menyimpulkan bahwa hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara
Hak-Hak Sipil Dan Politik Meliputi
- Hak hidup
- Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi
- Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa
- Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
- Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah
- Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum
- Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama
- Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi
- Hak untuk berkumpul dan berserikat
- Hak untuk turut serta dalam pemerintahan
Perbedaan Hak Sipil Dan Politik
Hak sipil adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang manusia
Hak politik ialah hak dasar dan bersifat mutlak yang melekat di dalam setiap warga Negara yang harus dijunjung tinggi dan di hormati oleh Negara dalam keadaan apapun
Protokol Opsional I terdiri dari Pembukaan dan 14 (empat belas) Pasal. Namun karena sifatnya opsional maka Negara pihak bebas untuk menjadi pihak atau tidak menjadi pihak dalam protokol, untuk Negara Indonesia sendiri tidak menjadi Pihak dalam Protokol ini. Isi dalam Protokol ini lebih menjelaskan tentang kewenangan dan bentuk mekanisme pengawasan atas penerapan ICCPR di Negara Negara Pihak serta prosedur pengaduan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia kepada Human Rights Committee (Komite Hak Asasi Manusia) yang berjumlah 18 orang dari Negara Pihak Kovenan.
Opsional Protokol ini dibuat pada 15 Desember 1989 yang diadopsi Majelis Umum PBB melalui resolusi 44/128 dengan tujuan untuk penghapusan hukuman mati di bawah juridiksi hukum suatu Negara Pihak. Dalam Protokol ini dijelaskan bahwa Negara Negara Pihak diwajibkan untuk mengambil semua upaya yang diperlukan untuk menghapus hukuman mati dibawah yuridiksinya. Karena hukuman mati dinilai bertentangan dengan norma-norma yang terkandum dalam DUHAM dan ICCPR serta menghambat pemajuan pemenuhan hak hidup.