Pada Selasa 21 Juni 2016, DPR kembali melakukan Pembahasan RUU ITE yang tertutup oleh Panja Komisi I DPR dan pemerintah. Pembahasan “rahasia” ini sejak semula telah dilakukan sejak Raker 20 April 2016 dan berencana RUU akan dipaksakan selesai pada Juni ini.
Institute for Criminal Jusice Reform (ICJR) tetap mengkritik keras pembahasan Revisi RUU ITE yang dilakukan secara Rahasia. Saking rahasianya pembahasan, bahkan tenaga ahli DPR juga tidak dapat mengikutinya. Bahkan dokumen dokumen pembahasan yang seharusnya dapat di akses oleh publik juga tidak dapat diperoleh, tidak ada dokumen Daftar Invetarisir Masalah (DIM) DPR, tidak ada hasil pembahasan yang di upload pada situs DPR seperti layaknya pembahasan RUU. Ini menunjukkan ada hal yang aneh dalam proses legislasi.
Perjalanan Revisi UU ITE di DPR
|
Sumber Monitoring : ICJR dan LBH Pers
ICJR mengkhawatirkan kondisi ini akan sangat berpengaruh kepada hasil kesepakatan yang di hasilkan Panja Komisi I DPR. Persoalan yang cukup genting adalah soal revisi pasal-pasal dalam UU ITE terkait penghinaan di dunia maya. Sejak awal pemerintah bersikukuh bahwa Pasal ini mutlak harus ada, sehingga pemerintah hanya merevisi soal ancaman pidananya. Bahkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akan lebih melindungi masyarakat. Pada pasal 27 ayat 3 tentang perbuatan pidana, usulan pemerintah ancaman hukumannya turun dari 6 tahun menjadi 4 tahun.
Berbeda dengan sikap Pemerintah, ICJR dan beberapa kelompok organisasi masyarakat telah mengkritik pasal ini dan meminta pemerintah untuk mencabutnya dalam Revisi RUU ITE. Satu satunya pihak yang diharap untuk menghilangkan pasal ini adalah sikap fraksi-fraksi di Komisi I DPR. Namun Pembahasan rahasia Revisi UU ITE tampaknya menunjukkan gelagat akan diterimanya usulan pemerintah mengenai revisi terbatas pasal 27 ayat (3) ITE. Tampaknya pembahasan sudah mengerucut kesepakatan di terimanya duplikasi Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan di Dunia Maya. Duplikasi Pidana penghinaan akan terjadi, baik di RUU KUHP dan di Revisi UU ITE.
Padahal menurut ICJR, pasal-pasal pidana di UU ITE khusunya pasal 27 ayat (3) ITE lebih banyak menimbulkan kerugian, karena menjadi instrument/alat pemberangus kebebasan berekspresi. Pasal ini dalam prakteknya tidak bisa membedakan antara penghinaan dengan kritik. Menurut ICJR pasal 310 dan 311 KUHP masih dapat digunakan untuk kasus ITE, bahkan banyak kasus justru menggunakan pasal KUHP dalam kasus-kasus ITE.
ICJR mengingatkan bahwa dalam 2 bulan ini saja, selama pembahasan revisi UU ITE kasus-kasus pemberangusan kritik yang menggunakan pasal-pasal UU ITE masih terus terjadi. ICJR heran mengapa pemerintah dan DPR tidak melihat realitas ini dalam pembahasan Revisi UU ITE. Oleh karena itu ICJR mendesakan kepada DPR agar segera membuka rapat-rapat tertutup pembahasan Revisi UU ITE, kedua membuka akses seluas-luasnya atas dokumen publik terkait pembahasan, dan ketiga mendorong kesepakatan untuk menghilangkan duplikasi pasal-pasal penghinaan dalam Revisi UU ITE.