Jakarta – Problematika klasik yang sampai saat ini masih membelenggu proses pembinaan terhadap tahanan atau narapidana adalah terjadinya overcrowding dan overstaying atau padatnya populasi dalam rumah tahanan (Rutan).Misalnya di Rutan Salemba, yang menampung 2.977 tahanan, padahal kapasitas Rutan tersebut hanya memiliki daya tampung 862 tahanan.Sementara itu, Rutan Cipinang, telah menampung sebanyak 2.695 tahanan yang terdiri dari 2.092 tahanan dan 603 orang narapidana. Rutan Pondok Bambu, dihuni oleh 1.076 tahanan dan narapidana (145 tahanan anak laki-laki, 629 tahanan wanita, 52 narapidana (anak) dan 250 narapidana wanita).”Dari ketiga Rutan yang dijadikan objek penelitian tersebut, terjadi angka overcapacity yang mencapai 2 (dua) kali lipat dan atau lebih”. Keterangan tersebut disampaikan oleh Diyan, S.H, Peneliti ICJR Jakarta, pada presentasinya dalam FGD Konsultasi Publik Kota Jakarta ”Riset Komprehensif Kebijakan Penahanan dan Pra Peradilan di Indonesia”, yang dilaksanakan oleh Institute for Criminal Justice Reform pada Kamis, 21 Maret 2012 di The Akmani Hotel, Jakarta Pusat.
Dalam penelitiannya, Peneliti menemukan bahwa jumlah tahanan yang terus bertambah akan berakibat pada membengkaknya anggaran negara. Dalam temuannya, Peneliti menuliskan tentang alokasi dan untuk pemenuhan kebutuhan makan perhari bagi setiap tahanan masing-masing di Rutan Salemba adalah sebesar Rp.7.672,-/tahanan, Rutan Cipinang Rp.7.500,-/tahanan, dan Rutan Pondok Bambu sebesar Rp.7.625,-/tahanan.Menanggapi temuan tersebut, Totok Yuliyanto,S.H, perwakilan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manuisa Indonesia (PBHI) Nasional yang hadir dalam FGD, menanggapi bahwa jika alokasi dana untuk kebutuhan makan seorang tahanan dianggarkan Rp.7500/hari, maka untuk 200 hari saja setiap orang menghabiskan anggaran negara sebesar Rp.15.660.000,-. Dan jika dikalikan dengan jumlah tahanan di Rutan Salemba maka anggaran yang dihabiskan untuk kebutuhan makan bagi seluruh tahanan mencapai angka 4 Milliar. Angka tersebut cukup fantastis untuk memenuhi satu kebutuhan saja, padahal masih banyak dana yang dibutuhkan bagi para tahanan seperti dana kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Penggunaan dana tersebut akan lebih efektif jika digunakan untuk peningkatan mutu dan layanan serta profesionalisme bagi aparat penegak hukum.
Kemudian dalam kerangka Penelitian yang dilakukan oleh ICJR, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ach. Dimyati Rachmad Sulur,S.H.,M.H, mengemukakan bahwa dalam penelitian ini perlu untuk dilakukan beberapa perubahan hal yang cukup signifikan misalnya penelitian ini semestinya dapat memastikan relasi yang terbentuk antara kecukupan masa tahanan di satu sisi dengan kewenangan penahanan di tingkat penyidik, kewenangan penahanan kejaksaan dan penyelesaian di tingkat hakim. Penelitian seharusnya juga dapat mendeskripsikan hubungan antara ketersediaan personel kepolisian dan kejaksaan dengan kecenderungan penahanan yang melewati batas waktu. Masih menurut Dimyati, penelitian ini seharusnya mengajukan analisis tentang upaya hukum lain seperti kasasi saat putusan Pra-Pengadilan ditolak.
FGD yang dihadiri oleh unsur penegak hukum, akademisi, praktisi, LSM, Media dan advokat ini, merupakan FGD paralel yang dilakukan di kota-kota yang menjadi objek penelitian, yaitu Kupang, Medan, Makassar dan Jakarta. Dalam penutupannya, para Peneliti ICJR Diyan, S.H, dan Jodi Santoso S.H., menyampaikan bahwa laporan yang dipaparkan dalam FGD ini merupakan laporan awal penelitian, yang masih akan dilakukan pengkajian mendalam melalui FGD selanjutnya dari beberapa wilayah penelitian secara integral dengan menggunakan data-data sekunder. (Indra/ICJR)