Tahun 1998 merupakan tahun bersejarah bagi kebebasan dan kemerdekaan berbagai bidang di Indonesia. Bidang yang turut mencicipi kebebasan dan kemerdekaan setelah tumbangnya rezim orde lama di tahun 1998 tersebut adalah pers. Pers sempat mengenyam kebebasan dan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh masayarakat yang mendamba iklim keterbukaan dan keluar dari keterkungkungan. Setahun kemudian, menteri Sekretaris Negara mengundangkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang disahkan oleh presiden RI waktu itu, BJ Habibie, pada bulan September 1999 yang di dalamnya memuat pasal perlindungan terhadap pers nasional atas penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran. Dengan kata lain sejak disahkan dan diundangkannya UU Pers tersebut, tak diperkenankan lagi bredel terhadap media.
Industri mediapun tumbuh subur, bak cendawan di musim hujan. Seiring perkembangan kebebasan dan kemerdekaan pers, tak hanya media cetak saja yang hadir sebagai ruang publik dan pemenuh informasi bagi publik, media elektronik dan media online juga turut mewarnai dan menandai kesuburan kebebasan dan kemerdekaan pers itu. Akses publik untuk mendapatkan informasi menjadi semakin mudah dan terbuka. Wadah untuk berekspresi, menyalurkan pendapat secara lisan dan tulisan semakin bervariasi. Jurnalis dalam menjalankan profesinya untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi juga menjadi leluasa karena dalam menjalankan profesinya tersebut mendapatkan perlindungan hukum. Begitu juga dengan kerja-kerja investigatif jurnalis dalam mengungkap fakta dan kebenaran. Beberapa skandal dan kasus dapat terbongkar melalui jurnalisme investigasi. Sehingga hak publik atas informasi terpenuhi, publik dapat mengontrol proses penyelenggaran pemerintahan/ kekuasaan yang notabene dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu, pemerintah adalah menjalankan mandat publik, maka pemerintah juga harus dapat memepertanggungjawabkannya kepada publik secara terbuka dan transparan.
Namun dalam perjalanannya, dunia pers kembali menghadapi masa suram. Kondisi itu ditandai dengan banyaknya gugatan, dan laporan delik pers yang dilayangkan kepada pers dan jurnalis. UU No 40 Tahun 1999 seringkali diabaikan oleh para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) yang memproses kasus pers pada level peradilan terhadap pers atau jurnalis yang karya jurnalistiknya dianggap melanggar hukum.
Profesi jurnalis yang hampir setiap waktu berurusan dengan akses informasi ke badan-badan publik dan perorangan dalam rangka memberikan informasi bagi publik secara cepat, akurat, akuntabel, dan cover bothside, memang menuntut aktifitas kerja yang cepat dengan jaminan terhadap hak-hak mereka dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Ketika jurnalis dapat menunaikan tugasnya dengan baik, maka kebutuhan masyarakat akan informasi dapat terpenuhi dengan baik pula. Keduanya seperti dua sisi mata uang.
Menjadi penting, bagi tiap-tiap jurnalis untuk memahami dan memegang teguh Kode Etik Jurnalistik dalam melakukan kerja jurnalistiknya. Kode Etik tersebut menjadi semacam pedoman atau panduan kerja. Secara filosofi, pers tanpa kode etik bagaikan berilmu tapi tidak dituntun oleh hati, atau ilmu tanpa moral. Sedangkan dari sisi hukum, kode etik jurnalistik bagaikan samurai atau alat, yang bisa menjadi instrumen yang dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa karya jurnalistik yang dihasilkan bukanlah karya jurnalistik yang melanggar hukum. Hal tersebut akan diurakan lebih mendalam dalam tulisan ini.
Untuk itu, ICJR mengapresiasi dan menyambut baik kegiatan yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kota Banda Aceh, di Kampus Muharram Journalism College (MJC), Beurawe, Banda Aceh, pada Sabtu, 16 Juni 2012. Karena, kadang diperlukan sebuah forum atau wadah untuk saling bertukar pikiran, untuk memahami bersama-sama sebuah hal, dalam hal ini posisi kode etik jurnalistik sebagai instrumen hukum atau pedoman. Disamping itu, kode etik tersebut meski diperkenalkan sejak dini, kepada jurnalis-jurnalis mula, atau calon jurnalis. Dengan senang hati, pada kesempatan ini ICJR memenuhi undangan AJI kota Banda Aceh. dengan menghadirkan Anggara, SH, Ketua Badan Pengurus ICJR, sebagai perwakilan dari ICJR, untuk menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut. Atas kepercayaan dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.