Ringkasan Kasus Posisi:
Putusan ini adalah Putusan Mahkamah Agung atas perkara pidana dengan Terdakwa MES (40 tahun) dengan Perkara No 2570 K/Pid.Sus/2010. Terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum karena melakukan perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman, yang dilakukan Terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut:
Terdakwa memesan shabu-shabu kepada seseorang bernama Sdr. Ed sebanyak 3 gram dengan harga Rp 6. 000. 000,- , setelah Terdakwa menerima barang tersebut Terdakwa membagi shabu –shabu menjadi 8 paket kemudian bersama-sama dengan Ba dan MS memakai barang tersebut di gudang KPU. Setelah selesai memakai MS pergi meninggalkan Terdakwa dan Ba yang tidur di gudang KPU. Ketika Terdakwa tidur, 2 orang polisi (Arwantus Rocky dan Gatot Dwi Pamungkas) datang dan membangunkan Terdakwa untuk melakukan penggeledahan. Dari penggeledahan tersebut 2 paket shabu-shabu. Yang kemudian barang tersebut dikirim dan dilakukan pengujian di Balai POM.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum:
Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan Dakwaan biasa (disusun dalam rumusan “tunggal”) yaitu berdasarkan Pasal 112 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 112 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.
Putusan Pengadilan tingkat pertama : Pengadilan Negeri Ketapang
Pengadilan Ketapang dalam putusannya “Menyatakan Terdakwa MES tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya; Membebaskan Terdakwa tersebut dari dakwaan Penuntut Umum; Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya”
Terhadap putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi.
Alasan Memori Kasasi Jaksa Penuntut Umum:
Cara Mengadili tidak dilaksanakan menurut Undang-undang
- Judex factie dalam memeriksa dan mengadili perkara ini telah lalai memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang yakni Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP.
- Pertimbangan hukum judex factie terhadap unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan sebagaimana tertuang dalam surat putusan Nomor: 50/Pid.B/2010/PN.KTP, tanggal 26 Juli 2010, didasarkan pada pertimbangan hukum yang sangat sumir, tidak obyektif dan tidak sempurna karena pertimbangannya lebih banyak memperhatikan faktor-faktor dan keadaan Terdakwa, termasuk argumen-argumen yang dikemukakan Penasehat Hukum. Sedangkan faktor dan keadaan yang dapat mempengaruhi pembuktian serta surat-surat yang berkaitan dengan perkara ini, namun hal ini tidak mendapatkan perhatian yang semestinya dalam pertimbangan judex factie.
- Akibat cara mengadili tidak mengikuti cara yang ditentukan Undang-undang tersebut berakibat Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak mendapatkan pertimbangan yang semestinya dalam upaya mencari kebenaran materil sebagaimana diharuskan hukum.
- Bahwa Majelis Hakim keliru dalam menerapkan hukum pembuktian (tidak memperhatikan kekuatan pembuktian sewrta alat-alat bukti yang diperoleh di Persidangan).
- Judex factie dalam memeriksa dan mengadili perkara ini telah lalai memenuhi syarat yang ditentukan Undang-undang yakni ketentuan Pasal 199 ayat (1) huruf b KUHAP. Pasal 199 KUHAP ayat (1) huruf b mewajibkan hakim dalam mengambil keputusan harus sudah mempertimbangkan semua unsur-unsur tanpa kecuali harus dipertimbangkan. Apabila masih ada unsur yang belum dipertimbangkan, menurut Pasal 199 ayat (2) KUHAP dapat dijadikan alasan untuk membatalkan putusan.
- Bahwa Majelis Hakim dalam mengambil putusan hanya berpedoman pada pengakuan Terdakwa tanpa mempertimbangkan saksi-saksi terutama keterangan saksi ARWANTUS ROCKY dan GATOT DWI PAMUNGKAS, yang menerangkan pada saat dilakukan penangkapan sempat menanyakan kepemilikan shabu-shabu tersebut dan Terdakwa mengakuinya secara sukarela tanpa ada tekanan.
- Penuntut Umum berpendapat, minimal pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP telah terpenuhi, namun Majelis Hakim tidak memandang sebagai fakta yang harus dipertimbangkan, sehingga putusan hanya berdasarkan pada keyakinan Hakim semata.
Putusan Mahkamah Agung:
Mengadili : Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Ketapang tersebut; Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi kepada Negara.
Pertimbangan Mahkamah Agung
- Bahwa Pasal 244 KUHAP menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain, selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas;
- Mahkamah Agung berpendapat bahwa selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil, Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan bawahannya yang membebaskan Terdakw, yaitu guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan bawahannya itu;
- Menimbang, bahwa namun demikian sesuai yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifat nya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
- Menimbang, bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada ti dak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas kewenangannya (meskipun hal ini tidak dia jukan sebagai alasan kasasi), Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi tersebut;
- Terhadap alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum Mahkamah Agung berpendapat judex factie tidak salah menerapkan hukum, karena Putusan judex factie yang menyatakan Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan dan karena itu membebaskan Terdakwa dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang benar, yaitu:
- Tidak cukup bukti bahwa Terdakwa secara tanpa atau melawan hukum memiliki, menyimpan atau menguasai Narkotika Golongan I;
- Walaupun dalam BAP Terdakwa mengakui barang bukti sebagai miliknya, tapi pengakuan tersebut diberikan karena Terdakwa dipukul oleh polisi yang mengawalnya pada waktu reka ulang kejadian;
- Pemukulan oleh polisi terhadap Terdakwa diketahui oleh saksi Supardi yang mendengar suara pemukulan dan suara Terdakwa minta ampun ketika reka ulang di dalam Gudang KPU;
- Ada pertentangan keterangan Terdakwa di BAP pada poin 3 yang menjelaskan Terdakwa tidak akan didampingi penasehat hukum, tapi dari poin 3 tersebut ada keterangan penunjukkan penasehat hukum untuk mendampingi Terdakwa, tapi Junaidi yang ditunjuk sebagai Penasehat Hukum menyangkal bahwa dia mendampingi Terdakwa, tapi hanya sekedar mengetahui saja;
ANOTASI HUKUM
Ada beberapa hal yang menarik dalam putusan tersebut, yaitu :
Kasasi terhadap putusan bebas yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
Pasal 244 KUHAP
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
Ketentuan ini sebenarnya bersifat imperatif dan tidak bisa dilanggar, namun dalam praktiknya larangan Pasal 244 KUHAP tersebut telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara contra legem, sehingga terhadap putusan bebas dapat diminta kasasi dengan didasarkan pada yurisprudensi (putusan kasus Natalegawa), yang mana dalam yurisprudensi memisahkan putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni. Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa putusan bebas murni itulah yang sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP sehingga tidak bisa diajukan kasasi oleh kejaksaan, sedang terhadap putusan bebas tidak murni jaksa bisa melakukan kasasi. Tetapi apabila dicermati dalam rumusan pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”. Dalam praktiknya saat ini telah dilakukan dikotomi yang memisahkan antara putusan bebas murni dengan bebas tidak murni.
Dalam putusan ini pertimbangan Mahkamah Agung juga mengemukakan apa yang disebut bebas tidak murni yaitu “apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas kewenangannya (meskipun hal ini tidak dia jukan sebagai alasan kasasi)”, yang mana dengan alasan tersebut permohonan kasasi harus diterima. Menurut hemat saya argumen Mahkamah Agung yang memisahkan antara bebas murni dan bebas tidak murni tidak tepat sehingga aturan Pasal 244 KUHAP tidak berlaku dan dapat dilanggar.
Dalam rumusan Pasal 244 KUHAP tersebut, tampak jelas bahwa secara yuridis normatif KUHAP telah menutup kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan bebas. Tetapi Pasal 259 ayat (1) KUHAP menyatakan “Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”, jadi lebih tepat apabila Jaksa atas Kuasa dari Jaksa Agung mengajukan kasasi dengan alasan demi kepentingan hukum, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 259 tersebut.
Maka seharusnya Argumen Mahkamah Agung yang memisahkan antara bebeas murni dan bebas tidak murni tidak lagi digunakan, lebih tepat apabila Mahkamah Agung merujuk pada pertimbangan dalam perkara ini yang menyatakan “bahwa selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil”, sebagaimana yang dikemukakan dalam putusan ini, sehingga konsistensi hukum dapat dipertahankan.
Hak atas Bantuan Hukum
Pasal 54 KUHAP
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pad setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yag ditentukan dalam undang-undang ini”
Pasal 56 KUHAP
(1) dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasehat yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan Cuma-cuma
Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung mengatakan “ada pertentangan keterangan Terdakwa di BAP pada poin 3 yang menjelaskan Terdakwa tidak akan didampingi penasehat hukum tapi dari poin 3 tersebut ada keterangan penunjukkan penasehat hukum untuk mendampingi Terdakwa, tapi Junaidi yang ditunjuk sebagai Penasehat Hukum menyangkal bahwa dia mendampingi Terdakwa, tapi hanya sekedar mengetahui saja”.
Bantuan hukum dari penasehat hukum menjadi hak Tersangka atau Terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 54 KUHAP dan dipertegas lagi dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang menegaskan bantuan hukum tidak lagi menjadi hak tetapi “wajib” bagi Tersangka/Terdakwa yang diancam pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi yang tidak mampu yang diancam pidana lima tahun atau lebih.
Penunjukkan Penasehat Hukum, bukan saja hanya sekedar penunjukkan tetapi ada kehadiran fisik Penasehat Hukum dalam melakukan pendampingan dan bantuan hukum, yang mana pemberian bantuan hukum dilakukan secara probono (cuma-cuma) sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP. Tetapi dalam praktiknya khususnya dalam perkara ini ada penunjukkan Penasehat Hukum untuk mendampingi Terdakwa tetapi kehadiran secara fisik Penasehat Hukum tidak ada, “sebagaimana dalam keterangannya dipersidangan Junaidi yang ditunjuk sebagai penasehat hukum mengaku tidak mendampingi hanya mengetahui saja”.
UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dijelaskan pula dalam Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan “advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Dalam memberikan bantuan hukum Advokat (penasehat hukum) hukum juga harus memberikan perhatian terhadap perkara tersebut sebagaimana diatur dalam Kode Etik Advokat Indonesia Pasal 4 huruf yaitu “Advokat dalam mengurus perkara cuma-Cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana mereka menerima uang jasa”. Berpedoman pada ketentuan ini menjadi kewajiban bagi penasehat hukum untuk melakukan pendampingan dan bantuan hukum. Dalam Pasal 4 huruf i KEAI lebih menjelaskan bahwa “Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a”.
Dalam Putusannya Mahakamah Agung mempertimbangkan pula mengenai penunujukkan penasehat hukum, yaitu bahwa“Ada pertentangan keterangan Terdakwa di BAP pada poin 3 yang menjelaskan Terdakwa tidak akan didampingi penasehat hukum untuk mendampingi Terdakwa, tapi dari poin 3 tersebut ada keterangan penunjukkan penasehat hukum untuk mendampingi Terdakwa, tapi Junaidi yang ditunjuk sebagai Penasehat Hukum menyangkal bahwa dia mendampingi Terdakwa, tapi hanya sekedar mengetahui saja”.
Kehadiran penasehat hukum selain sebagai pemenuhan hak tersangka/terdakwa, juga dapat dijadikan fungsi kontrol yang tepat untuk menghindari terjadinya penekanan, ancaman, ataupun penyiksaan dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, sehingga ancaman ataupun penganiayaan yang diakui Terdakwa dalam perkara ini tidak akan terjadi. Tetapi dalam perkara tersebut penunjukan Penasehat Hukum yang dilakukan Penyidik hanya semu belaka yang merupakan kecurangan dan rekayasa yang sengaja dilakukan penyidik untuk kepentingannya terhadap perkara tersebut.
Pengambilan Keterangan tanpa Tekanan
Pasal 52 KUHAP
“dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
Penjelasan
Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka dan terdakwa
Pasal 52 tersebut jelas menjamin kebebasan bagi tersangka atau terdakwa dalam memberikan keterangan secara bebas dan tanpa tekanan. Pasal tersebut juga erat kaitannya dengan Pasal 117 ayat (1) KUHAP yang menyatakan “Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun. Secara a contrario maka perolehan keterangan yang menggunakan tekanan atau paksaan menjadi tidak bernilai dan melanggar ketentuan tersebut, sehingga keterangan tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan.
Senada dengan pertimbangan yang dinyatakan Mahkamah Agung dalam putusannya yaitu “Walaupun dalam BAP Terdakwa mengakui barang bukti sebagai miliknya, tapi pengakuan tersebut diberikan karena Terdakwa dipukul oleh polisi yang mengawalnya pada waktu reka ulang kejadian”. Maka sudah tepat apabila Mahkamah Agung memutuskan menguatkan Putusan judex factie.
(Diyah/ICJR)