Jakarta, Kompas – Mahkamah Konstitusi diminta untuk membatalkan ketentuan penyadapan yang ada pada Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Ketentuan tersebut dinilai salah kaprah, mengingat penyadapan hanya bisa diatur di dalam UU tersendiri. Pengaturannya bukan dalam bentuk peraturan pemerintah, seperti diamanatkan dalam UU ITE.
Hal tersebut diungkapkan oleh peneliti Perkumpulan Demos (Center for Democracy and Human Rights Studies), Wahyudi Djafar, Selasa (19/1). Wahyudi, Anggara dari Institute for Criminal Justice Reform, dan Supriyadi Widodo Eddyono dari Indonesia Media Defense Litigation Network mendaftarkan perkara tersebut ke MK.
Mereka minta MK membatalkan ketentuan Pasal 31 Ayat 4 UU ITE yang dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Pasal tersebut mengamanatkan perlunya pembentukan peraturan pemerintah (PP) tentang tata cara intersepsi (lawful interception).
Wahyudi menjelaskan, salah satu pemicu dimintakannya pengaturan penyadapan ke MK adalah munculnya Rancangan PP Penyadapan yang digagas Kementerian Komunikasi dan Informatika. RPP tersebut disambut pro-kontra karena dinilai dapat menghambat sekaligus memperlemah upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di samping itu, ia menjelaskan, UU ITE memang bermasalah ketika mendelegasikan kewenangan pengaturan penyadapan dalam bentuk PP. Pasalnya, penyadapan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Dan, penyimpangan terhadap hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan peraturan yang berbentuk undang-undang.
”Pilihan ini (PP) tidak tepat, salah arah, dan salah kaprah. Penyadapan merupakan bentuk pelanggaran HAM. Karena itu, pengaturan untuk menyimpanginya haruslah dalam bentuk UU, bukan PP. Ini ditegaskan dalam Pasal 28 J Ayat 1 UUD 1945,” ujar Wahyudi.
Selain itu, MK sendiri (melalui beberapa putusannya) telah menggariskan mengenai perlunya pengaturan tentang syarat dan tata cara penyadapan serta perekaman untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan. Lebih jauh MK mengamanatkan pengaturan tersebut harus dilakukan melalui UU.
Undang-undang yang dimaksud, seperti dikemukakan dalam Putusan MK Nomor 012-016-019/ UU-IV/ 2006, harus merumuskan mengenai siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan. Selain itu, apakah perintah itu baru dapat dikeluarkan ketika telah ada bukti permulaan yang cukup, apakah perekaman dan penyadapan itu hanya untuk menyempurnakan alat bukti, atau justru untuk bukti permulaan yang cukup.
diambil dari Kompas