Surat dari Poltangan – Konon, ancaman pidana 6 tahun pada Pasal 45 ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk tindak pidana sebagaimana yang disebut dalam Pasal 27 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikarenakan sifatnya yang lebih merusak ketimbang tindak pidana biasa yang dilakukan di offline.
Namun, argumen itu sebenarnya terbantahkan karena misalnya dalam ketentuan Judi (27 ayat 2) karena ketentuan tersebut dalam kelompok ancaman pidana yang sama dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, perbuatan judi melalui sistem elektronik diancam pidana penjara 6 tahun. Namun anehnya, ketentuan KUHP untuk judi (Pasal 303) malah ancaman pidananya sangat berat yaitu 10 Tahun.
Ancaman pidana 6 tahun dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE pada dasarnya dicantumkan hanya supaya orang mudah ditahan saja. Meski syarat – syarat penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP sangatlah rigid, namun dalam prakteknya hanyalah ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP yang dijadikan pedoman utama apakah seseorang bisa ditahan atau tidak. Inilah yang melandasi para pembuat legislasi enggan melihat kembali buku hukum pidana warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Ancaman pidana 6 tahun penjara dalam UU ITE untuk perkara penghinaan jelas ancaman yang luar biasa dibandingkan dengan ancaman pidana untuk perkara yang sama yang ditentukan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan 311 KUHP.
Lalu bagaimana dengan praktek penerapannya? Pada dasarnya praktek di Pengadilan jelas beda dengan apa yang dipikirkan oleh pembuat UU khususnya UU ITE. Kalau mau jeli saja, dalam perkara Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia, Prita dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum 6 bulan penjara potong masa tahanan. Meski kalah di tingkat kasasi, toh hukuman yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung juga “hanya” 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun.
Dalam perkara lain dengan perbuatan penghinaan di UU ITE, Jaksa Penuntut Umum di Tangerang menuntut terdakwa dengan 10 bulan penjara potong masa tahanan. Kasus Diki Candra Vs. Negara Republik Indonesia yang diadili PN Tangerang sendiri setelah mendengar tuntutan Jaksa 10 bulan penjara potong masa tahanan, oleh PN Tangerang Terdakwa diputus dengan 6 bulan penjara potong masa tahanan. Di tingkat Pengadilan Tinggi, putusan PN Tangerang tersebut dikuatkan oleh PT Banten.
Hal yang menarik dari dua kasus ini dihubungkan dengan ancaman pidananya, sebenarnya baik Jaksa Penuntut Umum dan juga Pengadilan tidak keluar dari pola yang biasa digunakan. Untuk perkara – perkara penghinaan dituntut dengan pola tuntutan dan putusan seperti itu adalah hal yang biasa juga diterapkan pada perkara penghinaan yang diadili berdasarkan ketentuan KUHP.
Lalu, kenapa muncul angka 6 tahun? Rasa – rasanya para pembuat legislasi terutama untuk kebijakan pemidanaan, para pembuat UU seperti tidak melihat kembali buku lama hukum pidana, selain itu juga tidak melihat bagaimana pola tuntutan dan praktek penjatuhan hukuman pidana tersebut. Akibatnya pertimbangan efek jeralah yang menjadi ukuran untuk sekedar memuaskan hasrat si korban.
Ini semua adalah PR besar bagi kita semua untuk memperbaiki situasi seperti ini.