Ombudsman menemukan bahwa di Lapas Sukamiskin ukuran sel SN (terpidana korupsi) lebih luas dibandingkan sel lainnya. ICJR menilai telah terjadi diskriminasi perlakukan napi dalam sistem pemasyarakatan, disebabkan secara keseluruhan Lapas dan Rutan di Indonesia mengalami kelebihan beban hampir 100%, sehingga apa yang didapatkan SN tidak dirasakan oleh napi lain di seluruh Indonesia. RKUHP harus mampu menjawab persoalan ini dengan memaksimalkan pengaturan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan.
Dalam 5 tahun terakhir, Lapas dan Rutan di Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan jumlah penghuni. Data terbaru dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, pada Agustus 2018, beban di Rutan dan Lapas di Indonesia berada di angka 199%. Artinya, jumlah penghuni Rutan dan Lapas yang ada saat ini telah melebihi kapasitas yang mampu ditampung hampir 100%. Dari 33 Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM hanya 4 wilayah yang tidak mengalami kelebihan beban (D.I Yogjakarta, Maluku, Maluku Utara dan Papua). Bahkan untuk Kantor Wilayah Jawa Barat, hanya 4 Lapas yang tidak mengalami overcrowding terdiri dari Lapas Kelas I Sukamiskin, Lapas Kelas III Banjar, Lapas Kelas III Gunung Sindur dan Lapas Khusus kelas IIB Sentul. Hal ini jelas menunjukkan terjadi kondisi diskriminasi pada napi dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Kondisi overcrowding jelas akan mempengaruhi standar minimal pemenuhan hak-hak narapidana. Temuan Ombudsman yang menjelaskan bahwa sel yang ditempati oleh SN terbilang layak jelas tidak akan dirasakan oleh napi lain di lapas lain di Indonesia. Kondisi kelebihan beban (overcrowding) di Rutan dan Lapas ini tidak pernah ditangani dengan seksama dari pemerintah.
Kementerian Hukum dan HAM pada Juli 2017 telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam lampiran permenkumham tersebut dinyatakan bahwa upaya penanganan overcrowding juga harus dilakukan dengan melakukan perubahan kebijakan. Salah satu upaya perubahan kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui RKUHP.
Dalam Naskah Akademik RKUHP, Perumus RKUHP berkomitmen untuk menghadirkan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan untuk menghilangkan dampak destruktif dari pemenjaraan dengan menghadirkan bentuk pidana-pidana baru. Namun sayangnya, hingga draft 9 Juli 2018, keberadaan alternatif pidana baru tersebut nampak tidak akan berdampak posistif dalam menangani masalah overcrowding, dengan jumlah yang sangat minim dan banyaknya syarat yang harus diberlakukan. RKUHP dalam draft 9 Juli 2018, hanya mengadopsi alternatif pidana non pemenjaraan terdiri dari pidana pengawasan, pidana kerja sosial dan pelaksanaan pidana penjara dengan mengangsur. Kejelasan mengenai konsep yang dihadirkan masing-masing alternatif pemidanaan non pemenjaraan pun dipertanyakan. Pidana pengawasan yang sebelumnya diatur akan diawasi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) kemudian berubah menjadi kejaksaan, semulanya mekanisme nya diatur apabila terjadi pelanggaran masa pidana pengawasan akan diperpanjang. Namun konsep ini berubah pada draft 9 Juli, dengan mengembalikan mekanisme pidana pengawasan menjadi seperti pidana bersyarat di KUHP. Tidak jelas alasan perubahan tersebut. Hal ini jelas menggambarkan ketidakjelasan arah RKUHP mengenai alternatif pemidanaan non pemenjaraan. Konsep pidana kerja sosial pun tidak dijelaskan secara komprehensif akan diatur seperti apa. Syarat untuk dapat diterapkan pun terbilang sulit, hanya untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 5 tahun dengan syarat pidana yang dijatuhkan tidak lebih dari 6 bulan penjara.
Dari segi jumlah, alternatif pemidanaan non pemenjaraan dalam RKUHP juga sangat minim, hanya 3. Padahal, berdasarkan riset yang dilakukan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, melalui berbagai praktik di berbagai negara dan rekomendasi tokyo rules (Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures) terdapat sedikitnya 20 (dua puluh) jenis alternatif pemidanaan non-pemenjaraan yang dapat diterapkan. Sayangnya permasalahan ini tidak pernah komprehensif dibahas oleh Pemerintah dan DPR.
Apabila hal-hal tersebut tidak segera diperbaiki, cita-cita RKUHP untuk mereformasi hukum pidana yang salah satunya mengatasi permasalahan overcrowding jelas tidak akan tercapai. Kondisi diskriminasi antar napi yang saat ini terjadi pun akan terus berlanjut. Nantinya, kita akan makin terbiasa dengan berita ataupun kabar bahwa koruptor memperoleh failitas layak di Lapas sedangkan napi lainnya di Lapas dengan kondisi overcrowding untuk mendapatkan air bersih saja harus dengan kerusuhan.
ICJR kembali mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk membahas secara serius permasalahan terkait alternatif pemidanaan non-pemenjaraan ini di dalam RKUHP sebagai upaya mengatasi overcrowding, diskriminasi perlakuan napi dan komodifikasi fasilitas di Rutan dan Lapas. Pemerintah dan DPR juga harus mampu menghadirkan evaluasi komprehensif mengenai kondisi pemidanaan dan alternatif pemidanaan saat ini, untuk dapat mempersiapkan dengan baik instrumen-instrumen pelaksana dari ketentuan yang ada di dalam RKUHP, sehingga keberadaan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan di RKUHP dapat dilaksanakan dengan efektif ke depannya.
Lampiran: 20 Alternatif Pemidanaan non Pemenjaraan Rekomendasi Aliansi Nasional Reformasi KUHP
a. Pemberian peringatan
b. Penggantian kerugian sebagian atau seluruhnya terhadap kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh tindak pidana
c. Pembayaran sejumlah uang yang jumlahnya ditentukan oleh Hakim kepada organisasi atau lembaga pemerintah yang bergerak dalam bidang perlindungan korban kejahatan yang jumlahnya tidak boleh melebihi jumlah maksimum denda yang ditentukan oleh Undang – Undang
d. Larangan untuk menghubungi orang ataupun korporasi tertentu secara langsung atau melalui pihak ketiga
e. Larangan untuk berada di tempat tertentu atau yang berdekatan dengan tempat tertentu
f. Kewajiban untuk hadir pada waktu tertentu, di tempat tertentu, atau dalam masa waktu tertentu
g. Kewajiban untuk melapor pada waktu tertentu kepada lembaga pemerintahan tertentu
h. Larangan penggunaan obat atau minuman beralkohol dan kewajiban untuk melakukan tes daran dan urin untuk masa waktu tertentu
i. Pengembalian kepada orangtua/wali
j. Kewajiban mengikuti Pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh pemerintah atau korporasi
k. Kewajiban untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau korporasi
l. Rehabilitasi medis dan/atau sosial
m. Perawatan di lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang sosial atau lembaga sosial
n. Perawatan di rumah sakit jiwa
o. Konseling
p. Penyerahan kepada pemerintah
q. Penyerahan kepada seseorang
r Pencabutan surat ijin mengemudi
s. Perbaikan akibat tindak pidana baik secara keseluruhan atau sebagian
t. Kewajiban untuk ikut serta dalam sebuah program pelatihan tentang intervensi perilaku
—
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan. Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan