“Polisi harus Hati-hati dalam Penggunaan Pasal Pasal ITE, penggunaan UU ITE secara eksesif dapat membungkam Hak kebebasan bereskpresi. Banyak proritas lain yang seharusnya dilakukan oleh Menteri PPPA atas masalah anak di Indonesia, ketimbang membungkam kebebasan bereskpresi seni lewat media makan mayit ini.”
Dengan surat tertanggal 28 Februari 2017, Seniman pergelaran pameran “Makan Mayit”, Natasha Gabriella Tontey, dipanggil oleh Subdit IV Cybercrime Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan klarifikasi terhadap proses penyelidikan perkara tersebut terkait laporan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Yohana Yembise.
Dalam Surat permintaan klarifikasi atas dugaan tindak pidana tersebut Natasha Gabriella Tontey diduga melanggar Pasal 27 ayat (1) Jo Pasal 45 ayat (1) dan/atau Pasal 29 Jo 45B UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang ITE dan/atau Pasal 282 KUHP
“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan (pasal 27 ayat (1) UU ITE) dan/atau Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dan/atau tindak pidana kejahatan terhadap kesopanan” (pasal 29 UU ITE)
Institute for Criminal justice Reform (ICJR) prihatin atas laporan tersebut dan menilai bahwa laporan ke aparat penegak hukum itu prematur. Natasha Gabriella Tontey telah melakukan disclamer termasuk permohonan maaf kepada publik atas pagelaran seninya. ICJR memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Tontey adalah bagian dari kebebasan berekspresi berupa seni yang dilindungi oleh Undang-Undang dan Konstitusi Negara, pun apabila ada kesalahpahaman menerjemahkan seni tersebut, tidak ada perbuatan pidana yang dapat diproses oleh Polisi dari ekspresi seni tersebut.
ICJR melihat bahwa ada masalah utama terkait penggunaan Pasal UU ITE yang dituduhkan. Terutama mengenai apa yang di maknai sebagai “muatan yang melanggar kesusilaan” dan “kejahatan terhadap kesopanan” sesuai dengan rumusan pasal-pasal yang dituduhkan terhadap Tontey. Penggunaan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 UU ITE tidak relevan ditargetkan pada Tontey.
Pada dasarnya pasal ini ditujukan untuk meregulasi persebaran konten yang melanggar asusila dalam dunia maya, namun apa yang dimaksud asusila ini jangkauannya ternyata sangat luas dan hal ini membuka kesempatan bagi pihak penegak hukum untuk ditafsirkan secara karet.
Sedangkan Pasal 29 UU ITE, yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”Muatan ketentuan tentang pengiriman pesan elektronik berisi ”ancaman kekerasan” atau upaya ”menakut-nakuti” dan “ditujukan secara pribadi” tidak tepat untuk dikenakan. Karena pameran makan mayit tersebut telah melalui serangkaian riset dalam keilmuannya, dan justru media pameran tersebut berupaya untuk mengeksplorasi ketakutan dan mempertanyakan kembali yang selama ini dipandang taken for granted di masyarakat melalui platform dialog dalam acara tersebut.
ICJR memandang bahwa konstruksi Pasal 282 KUHP dalam ayat (3) terkait dengan ayat (1). Dimana orang yang berbuat harus mengetahui, bahwa isi tulisan, gambar, patung dan benda-benda yang dibuat tersebut melanggar perasaan kesopanan. Sehingga hasil karya seni tersebut diselenggarakan dengan maksud sebagai ilmu pengetahuan, maka pernyataan rasa kesenian itu terlalu jauh jika dipandang sebagai merusak perasaan kesusilaan.
ICJR memandang pergelaran pameran “Makan Mayit” salah satu bentuk dari Kebebasan berekspresi. Maka laporan dugaan tindak pidana kesusilaan pada para seniman yang serupa akan mengarah pada mudahnya mereka untuk dikriminalisasi, dan ini berpotensi besar untuk membungkam kritik sosial dan kebebasan berekspresi yang lebih luas. Lebih mengkhawatirkan adalah jika kebijakan kriminalisasi tersebut justru menimbulkan situasi yang menimbulkan rasa takut dan menyebarkan iklim ketakutan dalam kebebasan berekspresi.
ICJR memandang bahwa masih terdapat cara-cara lain atau dialog saling meluruskan pandangan terlebih dahulu bagi yang terusik dengan konten Makan Mayit tersebut. Dan bila kasus ini tetap berlanjut, maka aparat penegak hukum telah mengingkari kedudukan hukum pidana sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan masalah hukum (ultimum remedium).
Karya seni tersebut dapat dianggap sebagai perwujudan kritis atas perkara sosial yang selama ini luput dari masyarakat. Sebagai suatu Proyek seni yang selain berfungsi dalam hal estetika/keindahan, dalam tataran tertentu berfungsi pula untuk menganggu ruang nyaman masyarakat.
Menteri KPPPA pun seharusnya dapat menangkap pesan dan kritik substansial dari karya seni ini yang diarahkan pada masalah sosial yang berkaitan dengan perempuan dan anak. Bukan justru secara reaktif menyinggung teknik visual seni, dan kemudian melaporkan ke aparat penegak hukum. Banyak proritas lain yang seharusnya dilakukan oleh Menteri PPPA atas masalah anak di Indonesia, ketimbang membungkam kebebasan bereskpresi lewat media makan mayit ini.