TEMPO Interaktif, Jakarta – Rancangan Undang Undang Intelijen dinilai masih prematur dan menimbulkan banyak kontroversi, khususnya pasal yang mengatur kewenangan penyadapan (intersepsi komunikasi) yang diberikan kepada Lembaga Koordinasi Intelijen Negara –pengganti Badan Intelijen Negara– seperti diatur di dalam Pasal 31 Ayat (1).
Apalagi, di dalam pasal itu disebutkan, wewenang khusus melakukan penyadapan dapat dilakukan tanpa melalui penetapan ketua pengadilan. Karenanya, tata cara penyadapan harus diatur dengan undang-undang tersendiri, yang mengatur seluruh mekanisme penyadapan bagi semua lembaga negara yang memiliki kewenangan itu.
“UU Penyadapan untuk mengatur khusus tentang penyadapan, karena penyadapan harus mendapat otorisasi dari pengadilan untuk menghindari kesewenang-wenangan,” kata Deputi Senior Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Zainal Abidin, dalam konferensi pers di Galeri Cafe Cikini, Jumat 25 Maret 2011.
Hal itu berarti, UU Intelijen nantinya hanya dibolehkan mengatur tentang pemberian kewenangan penyadapan, tapi tidak mengatur tata cara, pra-syarat, dan pembatasannya. “Jangan sampai penyadapan disalahgunakan seperti di masa lalu, yaitu untuk mematai-matai lawan politik yang mengkritik keras penguasa,” imbuhnya.
Peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar mengatakan, penyadapan pada dasarnya adalah kegiatan yang dilarang oleh konstitusi, dan secara jelas telah melanggar hak privasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. “Tapi (penyadapan) bisa diatur khusus agar tidak terjadi planggaran atas hak privasi,” ujarnya.
Menurut Wahyudi, pembatasan dalam wewenang penyadapan sangat diperlukan. Tanpa adanya pembatasan-pembatasan yang rigid, akan terjadi penyalahgunaan kewenangan secara absolut oleh lembaga negara yang punya kewenangan menyadap.
Pembatasan ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang ditetapkan untuk mengawasi penyadapan. Pengadilan, lanjutnya, bisa menjalankan mekanisme pengawasan yang melekat terhadap lembaga-lembaga intelijen. “Di negara lain, pengawasan dilakukan oleh Ombudsman dan Komnas HAM. Jika lembaga intelijen salah sasaran, korbannya bisa menuntut rehabilitasi,” kata dia.
Pengawasan penyadapan, seperti diutarakan Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju, sebaiknya dilakukan secara kombinasi. Antara lain secara internal oleh eksekutif (pemerintah); oleh legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat; oleh yudikatif yakni lembaga peradilan; dan oleh lembaga-lembaga lain di luar itu yang diberi otoritas pengawasan.
“Jadi (penyadapan) ada kesesuaian dengan hukum, efektif dan efisiensi kerja dapat diketahui, penggunaan anggarannya transparan, dan aspek-aspek praktis sesuai fungsi bisa berjalan,” terang dia.
Anggara mengatakan, penyadapan memang seharusnya diatur secara khusus dalam sebuah perundangan. Soalnya, saat ini sudah ada 9 peraturan perundangan yang mengatur tentang penyadapan, antara lain UU Keamanan Nasional, UU Narkotika, UU KPK, UU Terorisme, UU Kepolisian, dan UU Kejaksaan. “Sehingga seluruh lembaga negara yang punya kewenangan penyadapan tidak bekerja dengan mekanismenya sendiri-sendiri,” ujar dia.
Selain itu, yang tidak kalah penting, di dalam UU Penyadapan nanti, harus disediakan mekanisme pengaduan bagi warga negara yang hak privasinya dilanggar oleh kerja-kerja lembaga intelijen. Mekanisme pengaduan, kata Anggara, bisa melalui pengadilan, Ombudsman, dan Komnas HAM. “Individu yang yang menjadi korban penyadapan ilegal (tanpa melalui izin pengadilan), harus mendapat rehabilitasi dan pemulihan lewat mekanisme komplain itu,” kata dia.
Terakhir, UU Penyadapan juga harus mengakomodir hak-hak istimewa dari kalangan profesional tertentu, misalnya jurnalis dan pengacara, yang punya kepentingan melindungi narasumber atau klien mereka. Dengan keharusan itu semua, manurut dia, pengaturan penyadapan untuk kepentingan intelijen tidak cukup hanya diatur dalam UU Intelijen. “Silakan saja kalau mau menyadap, tapi harus sesuai dengan UU Penyadapan.”
MAHARDIKA SATRIA HADI
Artikel ini dimuat di Tempointeraktif.com