Harus diakui, masih terjadinya praktik penyiksaan di Indonesia tidak lepas dari kelamahan peraturan perundang-undangan yang ada untuk melakukan pencegahan, penegakan hukum maupun perlindungan terhadap korban penyiksaan. Membentuk peraturan perundang-undangan anti penyiksaan merupakan hutang Indonesia. Saat ini agenda RUU KUHP dan RUU KUHAP yang selama ini di gadang-gandang pemerintah sebagai salah upaya implementasi Konvensi CAT di komunitas PBB terbukti menemui kegagalan, DPR tak sanggup membahas kedua RUU tersebut.
Saat ini, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) bersama dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dandan dibantu beberapa pihak termasuk ICJR sedang dalam proses merealisasikan lahirnya naskah awal RUU Anti Penyiksaan. Kamis, 28 Agustus 2014 telah dilangsungkan FGD pertama penyusunan Naskah Akademik (NA) RUU Anti penyiksaan bertempat di Gedung Ditjen HAM Kemenkumham. Hadir dalam acara tersebut perwakilan pemerintah yaitu Kemenkumham dan Kemlu serta dari unsur masyarakat sipil ICJR dan Elsam.
Secara garis besar, dalam pertemuan tersebut disepakati dua alasan kenapa pemerintah perlu mendorong RUU Anti penyiksaan, yaitu pertama, adanya kekosongan hukum anti penyiksaan yang sesuai dengan Konvensi. Disamping itu kelompok ahli hukum perundang-undangan Indonesia tidak sepakat dengan paham monisme dalam pemberlakuan hukum Internasional, sehingga sistem hukum kita tidak secara otomatis tunduk pada ketentuan Internasional, tetap dibutuhkan pengaturan lebih lanjut dalam sitem perundang-udangan di Indonesia agar bisa berjalan lebihefektif. Kedua, rancangan undang-undang yang saat ini di dorong pemerintah juga kurang kompatibel dengan Konvensi. Sehingga peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini jauh dari cukup untuk mengatasi problem penyiksaan.
ICJR mengapresiasi langkah konkrit tersebut. Langkah Kemenkumham dan Kemenlu ini sudah tepat, namun inisiatif ini harus pula dilanjutkan oleh Kementerian Hukum HAM sebagai pemegang mandat penyusunan undang-undang. Oleh karena itulah, maka pemerintah baru ke depan harus segera melanjutkan inisiatif ini, sembari menunggu ratifikasi OPCAT (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang harus di dorong dengan serius.