Korban kejahatan adalah kelompok paling rentan dalam sistem peradilan pidana umumnya, korban sering kali terlupakan eksistensinya, bahkan tidak jarang korban sangat sulit untuk mendapatkan hak – haknya. Dalam hal korban adalah anak, maka kerentanan itu harus dapat ditekan sedini mungkin, perlu untuk memastikan anak mendapatkan hak-haknya sebagai korban, disamping secara umum memang hak korban penting untuk dilindungi. Anak adalah kelompok rentan yang harus diberikan perhatian khusus, utamanya dalam hal anak menjadi korban, maka pemerintah perlu memastikan ketersediaan regulasi yang lengkap serta tehknis eksekusinya di lapangan.Indonesia pada dasarnya memiliki beberapa aturan terkait korban pada umumnya dan korban anak pada khususnya. Dimulai dari KUHAP, Indonesia memiliki undang-undang khusus terkait perlindungan korban dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-undang ini secara khusus mengatur terkait hak-hak korban yang bisa diberikan oleh negara. Khusus untuk anak korban, Indonesia juga telah memiliki beberapa undang-undang yang melengkapi secara khusus hak-hak anak korban. Dimulai dari UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sampai dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Sekumpulan aturan ini sebetulnya bisa dijadikan dasar penting untuk menjamin hak anak korban, namun dalam implementasinya perhatian bagi anak korban, selama ini masih kurang memadai. Bahkan keadilan bagi korban terkesan hanya ketika pelaku mendapatkan hukuman berat. Jadi, Sejauh ini pemberian hak-hak anak korban masih belum sesuai dengan kebutuhan korban.
Data dari Koalisi perlindungan Saksi dan korban menunjukkan bahwa di Lembaga Perlindungan Saksi (LPSK) implementasi hak ini justru sangat minim. Apabila dipersentasikan, dari informasi yang dimiliki ICJR, jumlah anak korban untuk kasus kekerasan seksual misalnya, selama ini anak korban yang mendapatkan layanan Medis dan Rehabilitasi Psikologis & Psikososial dari LPSK bahkan tidak mencapaiangka 3% dari seluruh jumlah layanan pertahun. Selain data dari LPSK, sangat sulit mencari data resmi berapa jumlah layanan rehabilitasi yang diberikan bagi korban kejahatan seksual, khususnya anak. Atas dasar itu, maka inisiatif untuk membuat kajian terkait penanganan anak korban kejahatan sangatlah penting. Tujuan dari kajian ini yakni, pertama, mengetahui sejauh mana Pemetaan Regulasi anak korban Kejahatan di Indonesia, kedua, Memetakan ketersediaan layanan anak korban kejahatan di masing-masing institusi.
Sangat diharapkan kajian ini dapat menjadi dasar informasi penting bagi pegambil kebijakan dan pemangku kepentingan yang bekerja dalam penanganan anak korban kejahatan. Penting untuk memastikan bahwa ada sinkronisasi seluruh sektor di pemerintahan dan pemangku kepentingan bagi terwujudnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak korban
Unduh Disini