Penerapan Prinsip yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana[1]
Pendahuluan
Fair trial atau peradilan yang adil adalah sebuah prinsip yang merupakan indikator dari terbangunnya masyarakat dan sistem hukum yang adil. Tanpa penerapan prinsip peradilan yang adil, orang – orang yang tak bersalah akan banyak memasuki sistem peradilan pidana dan kemungkinan besar akan masuk dalam penjara. Tanpa penerapan prinsip peradilan yang adil, hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta sistem peradilan akan runtuh.
Dalam konteks Indonesia, perjuangan menegakkan prinsip peradilan yang adil telah lama dimulai. Salah satu yang menjadi cornerstone dan dianggap sebagai karya agung dari bangsa Indonesia adalah UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (atau lebih sering disebut sebagai KUHAP). Selepas pemberlakuan KUHAP, berbagai instrument hak asasi manusia juga diadopsi dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional, diantaranya adalah United Nations Convention Against Corrruption, International Convention Against Torture, dan International Covenant on Civil and Political Rights. Dalamproses peradilan pidana saat ini, paradigma yang ingin dibangun adalah warga negara yang menjadi tersangka atau terdakwa, tidak dapat lagi dipandang sebagai “obyek” tetapi sebagai “subyek” yang mempunyai hak dan kewajiban berdasarkan hukum.
Dalam sistem peradilan pidana, due process of law diartikan sebagai suatu proses hukum yang baik, benar dan adil. Pengadilan yang adil merupakan suatu usaha perlindungan paling dasar untuk menjamin bahwa para individu tidak dihukum secara tidak adil. Proses hukum yang demikian terjadi apabila aparat penegak hukum yang terkait dengan proses tersebut, tidak hanya melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, tetapi juga memastikan agar semua hak tersangka/terdakwa yang telah ditentukan diterapkan. Proses hukum adil juga wajib mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang melandasi proses hukum yang adil tersebut (meskipun asas atau prinsip tersebut tidak merupakan peraturan hukum positif).[2]
Namun, hukum sekali lagi adalah produk politik pada masa itu. Meskipun dinyatakan sebagai karya agung dari bangsa Indonesia, proses politik otoriter pada masa itu juga banyak mempengaruhi ketentuan – ketentuan dalam KUHAP. Selain ketentuan KUHAP yang masih belum sempurna dalam melindungi kepentingan tersangka/terdakwa, dan juga korban, pada praktiknya usaha perlindungan yang tercantum dalam KUHAP sering diabaikan tidak hanya oleh para actor dalam sistem peradilan pidana, namun juga oleh Pengadilan.
Ada beberapa hal yang menjadi sorotan ICJR dalam rangka penerapan prinsip yang adil dalam sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu:
Terkait Bantuan Hukum
KUHAP memberikan jaminan bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.[3] Selain itu, dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka dan setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.[4] Hal ini dipertegas kembali bahwa dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.[5]
Terkait hal tersebut, ada yang harus dicermati, yaitu pada Pasal 56 ayat 1 KUHAP dalam frasa “wajib” yang dibebankan kepada pejabat pada semua tingkatan pemeriksaan. Hal tersebut seringkali tidak dijalankan oleh para aparat penegak hukum dengan alasan para tersangka maupun terdakwa sudah menyatakan menolak didampingi oleh penasehat hukum.
Penolakan untuk didampingi penasehat hukum ini tidak pernah diperiksa dengan cermat dan hati – hati oleh Jaksa Penuntut Umum dan Pengadilan. Namun dalam praktiknya diterima begitu saja tanpa ada pertanyaan – pertanyaan yang lebih spesifik apakah kerelaan tersebut benar – benar telah disadari dengan baik oleh Tersangka?
Selain hal tersebut, dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa menyadari asas peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat dan dengan biaya ringan serta dengan pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam pasal 21 ayat 4 huruf b, maka untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima belas tahun, penunjukan penasihat hukumnya disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat hukum di tempat itu.
Yang menjadi sorotan adalah kalimat “penunjukan penasihat hukumnya disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenga penasihat hukum di tempat itu”. Permasalahan tidak tersedianya tenaga penasihat hukum seharusnya tidak menyebabkan hak-hak dari tersangka atau terdakwa dikorbankan demi alasan prosedural yakni peradilan yang bersifat sederhana cepat dan dengan biaya yang ringan. Penyediaan tenaga penasehat hukum merupakan tanggung jawab negara sehingga sehingga tidak rasional apabila hal tersebut tidak tercapai maka kemudian negara membebankan akibatnya kepada para pencari keadilan. Hal ini berdasarkan pada aturan Internasional, prinsip 14 UN on Access to Legal Aid dinyatakan,
“States should recognize and encourage the contribution of lawyers’ associations, universities, civil society and other groups and institutions in providing legal aid.”
Selain itu dalam segi praktiknya, yang dapat dikatakan menjadi sebuah masalah juga adalah letak Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) dalam pengadilan yang seakan tidak efektif dalam memberikan bantuan hukum bagi para tersangka atau terdakwa. Hal ini dapat terlihat dari penempatan ruang tahanan sidang dengan letak POSBAKUM itu sendiri. Letak POSBAKUM tidak strategis guna para tersangka atauterdakwa mendapatkan bantuan, dimana biasanya letaknya tidak berdekatan dengan ruang tahanan sidang. Dalam denah dibawah ini terlihat bagaimana letak ruang tahanan sidang tidak berdampingan ataupun berdekatan dengan POSBAKUM itu sendiri. Ini menunjukkan dalam penataan lokasi pengadilan pun sudah bersifat tidak adil.
Sebagai contoh di wilayah pengadilan Jakarta Selatan, denahnya sebagai berikut:
Serta yang terakhir, tersangka atau terdakwa yang dihadapkan dengan ancaman pidana lima belas tahun, hukuman mati dan seumur hidup tidak ada pengecualian terhadap ketiadaan bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa. Bahkan mereka diperbolehkan untuk memilih penasihat hukum yang mendampingi mereka dan negera wajib untuk menyediakannya untuk melakukan pembelaan atas hak-hak mereka. hal ini guna menjamin perlindungan HAM bahwa proses peradilan terhadap ancaman pidana yang berat harus memiliki standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses peradilan tindak pidana biasa. Karena dengan adanya mekanisme persidangan yang seimbang tersebut menunjukkan penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi terdakwa khususnya mengenai perampasan kemerdekaan seseorang melalui sanksi pidana.
Terkait Mekanisme Pengawasan yang Efektif
Dalam KUHAP yang sekarang berlaku, tidak ada mekanisme khusus yang mengatur tentang sah atau tidaknya proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Mekanisme pengawasan tersebut hanya diakomodir secara pasif dengan adanya lembaga praperadilan melalui pengajuan permohonan apabila terjadi pelanggaran atau upaya paksa dilakukan secara tidak sah. Praperadilan bertujuan untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka[6] termasuk juga kewenangan lain yang diperluas dengan Putusan MK No 21/PUU-XII/2014 yaitu pemeriksaan terhadap penetapan sah/tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Namun dalam perkembangannya, mekanisme praperadilan yang dilaksanakan dengan konsep seperti hukum acara perdata (mengajukan gugatan, hakim pasif) yang tentu tidak akan efektif dalam memberikan ruang perlindungan bagi tersangka dan terdakwa untuk mencari keadilan atas upaya paksa yang dialaminya. Praktek peminjaman hukum acara perdata untuk lembaga praperadilan yang notabene berada dalam lingkup peradilan pidana telah berlangsung lama dan dianggap menjadi sesuatu yang wajar tanpa adanya upaya sungguh – sungguh dari pemerintah ataupun Mahkamah Agung untuk membenahi persoalan ini.
Terdapat beberapa kelemahan dalam lembaga praperadilan tersebut, salah satu studi BPHN tahun 2007 menyimpulkan bahwa banyak celah hukum di dalam ketentuan KUHAP yang mana praktiknya sangat bergantung pada diskresi aparat penegak hukum, praperadilan dinilai baru dapat berfungsi ketika pelanggaran atas pelaksanaan upaya paksa telah terjadi (post factum), sehingga lebih bersifat represif daripada preventif.[7]
Praperdilan yang dibatasi oleh waktu sebelum masuk ke dalam pemeriksaan perkara juga berdampak tidak efektifnya lembaga ini.[8] Berdasarkan hasil riset ICJR, dari 80 putusan praperadilan yang diteliti, hanya 2 permohonan yang dikabulkan oleh hakim, sisanya ditolak dan sebagian gugur berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP.[9]
Dalam pemeriksaan praperadilan pun hakim cenderung hanya memeriksa prosedur adminsitrasi, seperti kelengkapan surat, bukan memeriksa dengan seksama syarat yang diuji dalam praperadilan tersebut, misalnya telah dilaksanakan atau/tidak nya syarat subjektif dan syarat objektif dilakukannya penahanan dalam Pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP[10].
Beban pembuktian dalam lembaga praperadilan pun menjadi persoalan, karena dilaksanakan dengan konsep mengajukan gugatan, maka yang mendalilkan harus membuktikan, dalam hal ini tersangka, sehingga menjadi sulit bagi pencari keadilan untuk membuktikan hal tersebut padahal syarat upaya paksa dapat dilakukan sangat bergantung dengan subjektivitas aparat penegak hukum yang bertindak sebagai termohon praperadilan[11].
Sebagai upaya untuk mengatasi ketidakefektifan lembaga praperadilan tersebut, hadirlah konsep hakim pemeriksa pendahuluan yang diinisiasi oleh perumus Rancangan KUHAP tahun 2012. Konsep inimerupakan perubahan penting dalam rancangan KUHAP[12] dengan memberikan solusi atas lembaga praperadilan yang bersifat pasif dan tidak mandiri. Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan lembaga yang tidak terikat dalam pengadilan negeri. Kewenangan yang diberikan kepada hakim pemeriksa pendahuluan pun diperluas, tidak hanya terkait dengan upaya paksa yang dibatasi oleh Pasal 77 KUHAP, namun juga didalamnya ada kewenangan lainnya. Sifat pengawasan yang dilakukan hakim pemeriksaan pendahuluan pun juga tidak hanya berdasarkan ada/tidaknya pengaduan atau gugatan yang diajukan oleh pemohon, hakim pemeriksa pendahuluan dapat melakukan pengawasan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atas inisiatifnya sendiri dengan mekanisme pengajuan izin, penetapan dan putusan penilaian terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan konsep praperadilan dengan hakim pemeriksa pendahuluan. Praperadilan yang masuk dalam aturan KUHAP merupakan inisiasi dari kalangan masyarakat LBH/YLBHI yang bernama Komite Aksi Pembela Pancasila dalam KUHAP sebagai tanggapan RUU yang sebelumnya pada tahun 1979, pada masa pembahasan KUHAP[13]. Praperadilan hadir terinsipirasi konsep habeas corpus dalam sistem peradilan anglo saxon, yang memberikan hak kepada orang yang ditahan untuk menuntut aparat penegak hukum dalam hal ini polisi dan jaksa untuk membuktikan bahwa penahanannya sah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan konsep yang dihadirkan oleh Rancangan KUHAP dalam konsep hakim pemeriksa pendahuluan sifanya adalah pengawasan secara terus menurus terhadap aparat penegak hukum dalam melaksanakan wewenangnya.
Kewenangan hakim periksa pendahuluan jelas lebih luas dibandingkan dengan konsep praperadilan[14]. Adanya hakim periksa pendahuluan yang bersifat mandiri, terlepas dari beban penyidikan dan diluar bagian dari pemeriksaan perkara dapat menjamin transparansi pemeriksaan yang dilakukannya. Namun begitu terdapat beberapa kelemahan yang juga ditemui jika dibandingkan dengan konsep praperadilan.
- Walaupun memperbolehkan hakim pemeriksa pendahuluan untuk memanggil tersangka atau pihak lain yang relevan dalam pemeriksaan pendahuluan, namun beban waktu pemeriksaan perkara yang hanya 2 hari berimplikasi pada kemungkinan lahirnya praktik pemeriksaan yang hanya bersifat prosedural dengan batas waktu yang sangat sempit, padahal dalam konsep hakim periksa pendahuluan sifat pemeriksaan adalah terkait dengan aspek materiil dilakukannya upaya paksa, karena sedari awal aspek formil telah dilakukan pemeriksaannya oleh hakim pemeriksa pendahuluan, sehingga jika menggunakan mekanisme permohonan, maka yang diperiksa lanjutan adalah aspek materil. Jangka waktu pemeriksaan yang hanya diatur dalam waktu 2 hari dalam Pasal 112 ayat (2) dapat berimplikasi pada tidak terlaksananya tujuan awal pembentukan hakim pemeriksaan pendahuluan untuk mengatasi praktik praperadilan yang hanya berfokus pada aspek formil saja, terlebih lagi objek pemeriksaan hakim pemeriksa pendahuluan jelas jauh lebih banyak dari praperadilan, sehingga pengaturan tersebut menjadi dapat dipertanyakan efektivitasnya.
- Pemeriksaan yang dillakukan oleh HPP pun cenderung tertutup karena sifatnya berdasarkan inisiatif sendiri, hal ini rentan disalahgunakan karena adanya pemeriksaan ini dalam rangka melindungi tersangka, terdakwa, sehingga diperlukan mekanisme transparansi yang jelas. Pengaturan dalam RKUHAP harus menghadirkan konsep hukum acara yang jelas mengenaikewenangan hakim pemeriksa pendahuluan dalam hal dapat memeriksa dengan inisiatif sendiri karena besarnya kewenangan yang dimiliki olehnya.
Dalam RKUHAP dijelaskan dalam pasal 117 ayat (2) dijelaskan bahwa terhadap HPP dapat dilakukan pengawasan dengan mekanisme Tim Pengawasan sebagai pengawasan di Pengadilan Tinggi, dalam penjelasan RKUHAP tersebut tidak dijelaskan bagaimana mekanisme pengawasan tersebut, padahal seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa kewenangan yang diberikan dalam RKUHAP sangat besar, semua kewenangan tersebut pun terkait dengan tindakan atau upaya paksa dari para penegak hukum, sehingga menjadi penting untuk mengatur mekanisme pengaduan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan, terlebih lagi dalam mekanisme hukum acara hakim pemeriksa pendahuluan tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Perlu dicermati kembali apa alasan pengaturan sifat final putusan hakim pemeriksa pendahuluan, padahal dalam rancangan KUHAP konsep pra-peradilan yang akan gugur ketika persidangan pokok perkara telah dimulai yang diatur di dalam KUHAP tidak diakomodir lagi dalam RKUHAP, lantas menjadi dipertanyakan mengapa konsep tersebut dihapuskan namun ruang upaya hukum atas putusan hakim pemeriksa pendahuluan tidak tersedia.
Terkait Pencegahan Penyiksaan
Problem penyiksaan masih menjadi masalah besar dalam penegakkan hukum di Indonesia. Problem ini tidak begitu saja bisa dihapus hanya karena Negara Republik Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia atau yang dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.
Dalam KUHAP sekarang, tata cara perolehan alat bukti tidak diatur secara tegas, misalnya apakah alat bukti yang diperoleh melalu intimidasi, tekanan, atau bahkan penyiksaan dapat digunakan sebagai bukti di Pengadilan. Meski telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang mengeliminir bukti yang diperoleh melalui penyiksaan, namun secara umum pengadilan belum memandang bahwa due process menjadi bagian terpenting dalam sistem peradilan pidana.
Selain itu, guna mencegah adanya penyiksaan bagi para tersangka/terdakwa atau terpidana maka dirasa perlu untuk mendorong perubahan dalam mekanisme penahanan. Sudah sejak lama, khususnya dalam konteks penahanan, KUHAP berada dalam masa transisi. Sampai saat ini, masih terjadi dualisme pengelolaan tempat penahanan, ada rumah tahanan yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM, dan tempat penahanan yang dikelola Kepolisian. KUHAP telah menggariskan pemisahan yang tegas antara instansi/pejabat yang berwenang untuk menahan dengan instansi/pejabat untuk menempatkan tahanan. Pemisahan ini sebenarnya juga bertujuan untuk meminimalisir resiko terjadinya intimidasi/tekanan/penyiksaan terhadap tersangka. Namun apa boleh buat, sejak 1981 kondisi tempat penahanan tidak banyak berubah. Dualisme pengelola tempat penahanan ini sebenarnya adalah situasi transisi yang tanpa disadari secara perlahan telah menjadi situasi yang permanen tanpa ada kesungguhan untuk mengubah kondisi ini agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku[15].
Dalam masa penahanan, peluang terjadi kekerasan dan penyiksaan sangat terbuka lebar, baik dari sesama tahanan maupun dari orang yang memiliki kekuasaan di tahanan. Di sisi lain, pengawasan kurang berjalan efektif, karena dalam sistem penahanan seringkali mekanisme kerja organisasi tahanantidak dapat berjalan dengan baik, sehingga kekerasan dan kondisi tidak layak huni terus terkondisi tanpa ada perbaikan[16].
Sampai dengan saat ini tidak tersedia regulasi yang secara khusus dapat digunakan dalam menghukum pelaku penyiksaan secara efektif. Tidak ada kriminalisasi khusus terhadap tindak pidana penyiksaan. Satu-satunya harapan ada dalam R KUHP, kejahatan penyiksaan diatur dalam dua Pasal, yaitu dalam Bab XXXII tentang Tindak Pidana Jabatan dalam Pasal 669 Buku II Rancangan KUHP 2015, yang saat belum selesai dibahas oleh DPR.
Bahkan Inisiatif terkait Optional Protocol/protokol tambahan yang melengkapi ratifikasi konvensi anti penyiksaan, telah di tolak oleh pemerintah. Optional Protokol Anti Penyiksaan ini merupakan instrumen untuk mendukung pencegahan penyiksaan, Indonesia tidak bersedia meratifikasi dengan alasan kedaulatan Negara. Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak memiliki mekanisme pemantauan tempat-tempat penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan hak asasi manusia. Sehingga menjadikan tempat-tempat penahanan sebagai “surga” bagi pelaku-pelaku penyiksaan. Situasi ini menambah deret panjang kegagalan mengakses hak para korban penyiksaan.[17]
Terkait Peninjauan Kembali dan Pembatasannya
Peninjauan Kembali merupakan salah satu bagian dari upaya hukum luar biasa, disamping upaya kasasi, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena Peninjauan Kembali hanya bisa dilakukan apabila seluruh upaya hukum biasa, yakni banding dan kasasi, telah dilakukan. Sehingga, pada esensinya Permohonan Kembali merupakan sarana bagi Terpidana atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan dan melindungi kepentingan terpidana.[18]
Mengingat pentingnya peninjauan kembali sebagai upaya mencari keadilan bagi terpidana, akhirnya Mahakamah Konstitusi melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013, mempertegas bahwa pengaujan peninajuan kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya. Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Konsekuensi dari putusan ini, terpidana sekarang dapat mengajukan permohonan kembali lebih dari satu kali sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur.
Mahkamah Konstitusi berkeyakinan bahwa keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan[19].
Namun kemudian, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung mengadakan pertemuan pada awal tahun baru 2015 sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan polemik yang ada, akhirnya diterbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali.
Mahkamah Agung (MA) dalam hal ini telah melupakan prinsip “Lex Specialis Derogat Legis Generalis” dalam Pembentukan Surat Edaran MA tentang Pembatasan Peninjauan Kembali (PK) atau SEMA Pembatasan PK. Karena setiap pembatasan terhadap hak asasi haruslah dilakukan dengan undang-undang (UU) sesuai ketentuan Pasal 28 J UUD 1945. Sebaiknya hal yang harusnya diatur MA bukanlah mengenai batas pengajuan PK melainkan mengatur mengenai kriteria novum atau bukti baru yang dapat menjadi dasar pengajuan PK. MA tidak boleh “malas” melayani pencarian keadilan untuk kehidupan dan kebebasan setiap umat manusia selama terdapat adanya keadaan baru yang bisa membuktikan sebaliknya bahwa terpidana tersebut tidak bersalah. SEMA pembatasan PK hanya sekali itu adalah inkonstitusional.
Terkait Penahanan
Dalam evaluasi penahanan di penyidikan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) disimpulkan adanya fakta-fakta pelaksanaan penahanan sebagai berikut:
“Kewenangan penyidik untuk menahan atau tidak menahan tersangka terkadang tidak dipergunakan dengan pertimbangan untuk kepentingan pemeriksaan kasus serta sesuai yang dipersyaratkan KUHAP, yaitu bila dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana lagi. Penggunaan kewenangan ini terkadang dipergunakan penyidik untuk mendapatkan sesuatu imbalan dari tersangka/keluarga. Posisi tersangka/keluarga dalam hal ini menjadi pihak yang sangat membutuhkan “uluran tangan” penyidik, dan penyidik menjadi satu-satunya “dewa penolong”, sehingga sangat dimungkinkan terjadi transaksi. Bagi sebagian tersangka penahanan terkadang terkait dengan citra di lingkungan sekitar, seseorang yang telah ditahan seolah telah distigma oleh masyarakat sebagai orang yang salah, sehingga dengan berbagai macam cara tersangka dan/atau keluarga akan mengupayakan agar tidak ditahan, dalamkondisi seperti ini penyidik terkadang malah memanfaatkan untuk mengambil keuntungan dengan meminta imbalan tertentu untuk tidak melakukan penahanan”.[20]
Hasil studi yang dilakukan KHN tersebut juga menemukan bahwa di dalam pemeriksaan untukmelakukan penahanan masih ditemukan penyalahgunaan dalam tahap penyidikan baik oleh Polisi dan penuntutan oleh jaksa dalam melakukan penahanan.[21]
Berdasarkan Pasal 21 KUHAP, terdakwa kasus hukum bisa ditahan dengan lima syarat, yakni adanya (1) bukti yang cukup, (2) memiliki kemungkinan atau terdapat kondisi bahwa tersangka/terdakwa akan menghilangkan barang bukti, pengulangan kejahatan, kekhawatiran melarikan diri, dan (3) pasal yang disangkakan memiliki ancaman hukuman lima tahun penjara atau lebih. Norma Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menitikberatkan kepada keadaan atau keperluan penahanan ditinjau dari segi keadaan yangmeliputi diri tersangka/terdakwa dan praktik yang selama ini terjadi telah dikritik oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No.018/PUU-IV/2006, dikatakan:
“…Frasa ini dapat dijadikan dasar apakah memang ada keadaan yangmenimbulkan kekhawatiran bagi penyidik atau penuntut untuk melakukan penahanan, dan apabila keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersebut ternyata sangat lemah maka hakim praperadilan dapat menyatakan bahwa penahanan tidak mempunyai rasionalitas dan oleh karenanya dapat dinyatakantidak sah”.[22]
Sejak lama, negara-negara di dunia telah menaruh perhatian yang besar terhadap isu penangkapan dan penahanan terhadap seseorang. Masyarakat internasional menyadari betapa rentannya hak-hak individu (awam) yang dilanggar ketika ia berhadapan dengan negara, termasuk dalam kerangka penegakan hukum. Oleh karena itu berbagai instrumen hukum internasional tentang perlindungan HAM terus muncul dan makin menguat. Munculnya berbagai instrumen HAM ini secara umum berakar dari keinginan untuk membatasi kewenangan represif dari negara dan sekaligus untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara melalui aparaturnya. Kini, instrumen-instrumen hukum itu telah menjadi sistem hukum hak asasi manusia internasional yang berlaku bagi negara-negara yang meratifikasinya.
Hukum Internasional Hak-hak Asasi Manusia (HAM) menjamin bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan dan berhak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh negara.[23] Dalam hukum internasional, penahanan dianggap sewenang-wenang bila terjadi hal-hal berikut ini:
- Tidak ada dasar hukum untuk membenarkan penahanan
- Penahanan terjadi sebagai akibat dijalankannya hak-hak asasi secara sah (misalnya kebebasan berbicara atau berpendapat)
- Situasi penahanannya melibatkan berbagai pelanggaran HAM yang demikian parah sehingga penahanan tersebut bisa dianggap sewenang-wenang (misalnya, bila tidak ada proses peradilan atau persidangan yang adil).[24]
Komisi Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa waktu untuk menjalankannya tidak boleh melebihi beberapa hari.[25] Kelompok Kerja PBB tentang penahanan yang semena-mena mempertimbangkan jangka waktu penahanan sesuai dengan KUHAP yang berlaku saat ini, mereka memberikan komentar,
“lamanya penundaan yang diizinkan sebelum menghadirkan seorang tertuduh di depan seorang jaksa atau hakim menunjukkan pelanggaran hak yang tercakup dalam pasal 9 paragraf 3 dari Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik”. Mereka merekomendasikan bahwa ketetapan-ketetapan yang relevan perlu dimodifikasi dengan tepat. Khususnya, mereka merekomendasikan bahwa “harus ada kewajiban hukum untuk menghadirkan tahanan di depanseorang hakim atau petugas lain yang sah menurut hukum, untuk dengan segera menjalankan sendiri fungsi-fungsi semacam itu”.[26]
Penahanan seorang tersangka pada dasarnya adalah perampasan kemerdekaan. Dalam konteks Indonesia, penahanan terhadap seseorang telah lama dianggap sebagai bagian diskresi pejabat yang memiliki wewenang penahanan, tanpa dapat diuji kesahihan dari penilaian sepihak yang dilakukan oleh pejabat tersebut. Oleh karena itu, dengan jangka waktu yang demikian lama di rumah–rumah tahanan negara dan tanpa ada proses pengujian penahanan yang memadai menjadi salah satu faktor memburuknya situasi dan kondisi di tempat–tempat penahanan di Indonesia.
Penilaian sepihak tentang kondisi apakah tersangka dapat ditahan dan anggapan bahwa unsur keadaan kekhawatiran adalah diskresi dari pejabat yang menahan telah membuat pengadilan, melalui lembaga praperadilan, seperti ‘enggan’ untuk menguji secara substantif apakah penahanan yang dilakukan terhadap seorang tersangka benar–benar harus dilakukan dan telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam KUHAP.
Yang dirasa merupakan salah satu solusi adalah memperberat syarat untuk dapat menahan, dan juga memikirkan kembali kemungkinan untuk lebih menggunakan mekanisme tahanan rumah atau tahanan kota atau membuat mekanisme yang baik mengenai uang jaminan, serta perlu untuk menambah satu prinsip dalam penahanan yaitu prinsip penahanan minimal.
—
[1] Dipersiapkan untuk Konferensi Indonesia Judicial Reform Forum (IJRF) 15 – 16 Januari 2018. Dituliskan oleh Anggara dan Sustira Dirga, para peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform
[2] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Penerbit UNDIP, 1998, hlm 5
[3] Lihat Pasal 54 KUHAP
[4] Lihat Pasal 56 KUHAP
[5] Lihat Pasal 114 KUHAP
[6] Pasal 77 UU 8 tahun 1981 tetanng Hukum Acara Pidana
[7] BPHN, Penelitian Hukum tentang Perbandingan antara Penyelesaian Putusan Praperadilan dengan Kehadiran Hakim Komisaris dalam Peradilan Pidana, dalam Prospek Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam Pengawasan Penahanan dalam Rancangan KUHAP”, Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus Napitupulu, (Jakarta: 2014), hal. 5
[8] gugutan praperadilan gugur apabila perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”
[9] Diakses dari https://icjr.or.id/praperadilan-barang-usang-yang-harus-ditinggalkan-apapun-taruhannya/
[10] Diakses dari https://icjr.or.id/institusi-praperadilan-sudah-layak-dimusiumkan/
[11] sebagai contoh, Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatur dapat tidaknya penahanana dilakukan, penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yangcukup. Kata “diduga” ini sangat bergantung dengan subjektivitas aparat penegak hukum
[12] Naskah Akademik Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tahun 2012, hal. 6
[13] BPHN, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (BPHN: 2011), hal. 11
[14] Penulis membaginya ke dalam 3 peran besar, 1. Peran mengeluarkan izin, 2. Melalukan tindakan tertentu dan 3. Menetapkan atau memutus.
[15] Supriyadi W. Eddyono, Penahanan Pra Persidangan dalam Rancangan KUHAP, Jakarta: ICJR, 2014, Hlm. 2
[16] Diakses dari https://icjr.or.id/masalah-penahanan-pra-persidangan-masalah-sistemik-dan-kompleks-dalam-reformasi-hukum-di-indonesia/
[17] Supriyadi W. Eddyono, dkk, Indonesia Pro Penyiksaan (16 Tahun Pasca Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan di Indonesia) Catatan Untuk Peringatan Hari Anti penyiksaan Internasional 2014, Jakarta: WGAT, 2014, hlm. 12
[18] Supriyadi W. Eddyono, dkk, Menguji Kebijakan Pembatasan Peninjauan Kembali (PK) Bagi Terpidana Mati; Judicial Review Terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, Jakarta: ICJR, 2015, Hlm. 8
[19] Ibid, hlm. 9
[20] Komisi Hukum Nasional, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penyidikan Oleh Polisi dan Penuntutan Oleh Jaksa Dalam Proses Peradilan Pidana, Executive Summary Penelitian, Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2007, hlm. 6
[21] Ibid.
[22] Lihat Putusan MK No. 018/PUU-IV/2006, hal. 74
[23] Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Lembar Fakta No.26 mengenai Kelompok Kerja tentang Penahanan Sewenang-wenang; lihat juga, berbagai opini tahun 2003 yang disetujui oleh Kelompok Kerja tentang Penahanan Sewenang-wenang, E/CN.4/2004/3/Add.1.
[24] Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum 8, Pasal 9 (Bagian keenam belas, 1982), Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi yang Diadopsi oleh Badan Pakta Hak Asasi Manusia, UN Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 8 (1994), paragraf 2
[25] Ibid
[26] Laporan Kelompok Kerja Tentang Penahanan Sewenang-wenang dalam kunjungannya ke Indonesia (31 Januari – 12 Februari 1999), UN Doc. E/CN.4/2000/4/Add.2, paragraf 99