Mendasarkan kekerasan seksual pada ketiadaan konsen/persetujuan sama dengan memberikan ruang aman bagi korban manapun.
Pada tanggal 3 September 2021, Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi Republik Indonesia menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sebagai catatan juga, aturan sejenis ini juga telah diterbitkan di lingkungan Perguruan Tinggi dibawah Kementerian Agama yaitu dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 Tentang Pedoman Pencegahan Dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
Peraturan ini perlu didukung karena dapat memberikan manfaat begitu besar terhadap adanya kejelasan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di ranah perguruan tinggi. Aturan ini dapat menjadi pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual dalam ranah pendidikan tinggi harus diperhatikan, sebagai respons banyaknya kasus yang terjadi. Data Komnas Perempuan 2015-2020 menunjukkan 27% pengaduan kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi. Survei Kemendikbud pada 2020 menyebutkan 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.
Kehadiran aturan ini disambut baik oleh banyak kalangan, namun sayangnya, penolakan juga muncul, didasarkan pada penolakan diakomodirnya aspek persetujuan/konsen sebagai dasar kekerasan seksual.
Penolakan ini jelas tidak berdasar. Suatu perbuatan disebut sebagai kekerasan seksual jelas harus didasari pada aspek persetujuan. Aspek ini yang menekankan pentingnya intervensi negara. Manusia sebagai makhluk merdeka memiliki akal budi memegang penuh hak menentukan terlibat ataupun tidak terlibat dalam hubungan seksual. Ketika suatu hubungan seksual dilakukan dengan ancaman, kekerasan, ancaman kekerasan ataupun ada penyalahgunaan relasi kuasa maka terjadi penyerangan terhadap akal budi dan hak tersebut. Bahkan, penyerangan integritas tubuh juga dapat terjadi sekalipun dalam lingkup perkawinan/hubungan legal. Hal ini diatur dalam Pasal 46 UU PKDRT, Pasal 288 KUHP. Dengan ketiadaan konsen/persetujuan negara bisa masuk memberikan intervensi. Negara yang mengatur ranah Pendidikan juga bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan menyediakan sistem yang efektif untuk menangani laporan kekerasan seksual.
Narasi penolakan aturan ini justru berpotensi menyerang korban. Dengan mendasarkan kekerasan seksual pada aspek adanya perkawinan/sesuai norma, korban akan sulit memperoleh keadilan karena akan distigma terlibat dalam hubungan tidak legal, moralitasnya akan digali, korban akan dikotak-kotakan dan terus direndahkan ketika melaporkan kasusnya, ketimbang memberikan ruang aman bagi korban. Padahal berdasarkan survei Kemendikbud 2020 juga 63% tidak melaporkan kasus kepada pihak kampus karena minimnya ruang aman bagi korban. Hal inilah yang justru ingin diselesaikan dengan keberadaan Permendikbud ini.
Mendasarkan kekerasan seksual pada ketiadaan konsen sama dengan memberikan ruang aman bagi korban manapun. Meskipun pada prinsipnya korban seharusnya tidak dinilai berdasarkan pemenuhan dirinya terhadap norma-norma yang ada, namun selama ini hal tersebut menjadi penghalang utama seseorang dapat disebut sebagai ‘korban’. Padahal, penyematan dan pengkategorian sebagai ‘korban’ menjadi sangat penting di dalam sistem perlindungan di Indonesia.
Sehingga, berdasarkan hal tersebut ICJR berpendapat bahwa Permendikbud ini telah tepat dalam memasukkan elemen persetujuan ke dalam definisi kekerasan seksual. Tanpa adanya elemen persetujuan, sistem yang telah dibangun tidak akan dapat dijalankan, dikarenakan korban akan terlebih dahulu ‘dihakimi’ berdasarkan hubungan-hubungan yang berkaitan dengan norma, juga bias terhadap relasi kuasa yang ada. Langkah yang diambil oleh Kemenristekdikti dan Kemenag sudahlah tepat. Aturan-aturan ini harus terus didukung.
Hormat Kami,
Jakarta, 10 November 2021
Maidina Rahmawati – Peneliti ICJR