Penyiksaan terhadap Anak oleh Prajurit TNI, Pemulihan Korban Hal yang Utama, Proses Hukum Harus Dilanjutkan

Meskipun telah ada perdamaian dari kedua belah pihak, ICJR mendesak agar proses penegakan hukum terus berlanjut hingga penjatuhan sanksi pidana. Sebab, perbuatan tersebut telah termasuk penyiksaan yang lebih-lebih dilakukan terhadap anak yang wajib mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Dalam proses penegakan hukum kasus ini, ICJR juga menekankan supaya perlu ada prioritas perlindungan terhadap korban anak dan keluarganya dalam menjalani pemulihan.

Seorang anak berusia 13 tahun menjadi korban penyiksaan dua anggota TNI di Rote, NTT karena dituduh mencuri HP. Dalam dua hari berturut-turut pada Kamis-Jumat 19-20 Agustus 2021, korban anak berkali-kali mendapat kekerasan oleh anggota TNI tersebut bahkan ketika di hadapan orang tuanya yang tidak kuasa melawan untuk membela anaknya. Korban anak tersebut disundut rokok menyala di sekujur bagian tubuhnya, dipukul menggunakan bambu di kedua tangannya, juga mengalami kekerasan pada bagian kemaluannya. Ia akhirnya terpaksa mengaku bahwa dia yang mengambil HP karena tidak tahan dengan tindakan penyiksaan yang dilakukan terhadapnya.

Berdasarkan perkembangan terakhir, telah ada perdamaian antara pihak Kodim dengan keluarga korban anak. Pihak Kodim 1627 Rote Ndao juga telah bersedia untuk menanggung seluruh proses adat dan biaya perawatan korban anak tersebut. Danrem 161 Wirasakti Kupang, Brigjen TNI Legowo WR Jatmiko menegaskan akan menindak tegas melalui proses hukum kedua prajurit TNI tersebut yang saat ini juga telah ditahan.

ICJR mengamini pernyataan Danrem tersebut dan mendesak agar proses penegakan hukum terus berlanjut hingga penjatuhan sanksi pidana. Sebab, rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh kedua prajurit TNI tersebut telah masuk dalam kategori penyiksaan yang wajib dijatuhi sanksi pidana menurut Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Pasal 4 dan Pasal 12 Konvensi Anti Penyiksaan memerintahkan negara untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap pelaku penyiksaan dengan melakukan proses penegakan hukum berdasarkan hukum pidana.

Terlebih, perbuatan penyiksaan tersebut dilakukan terhadap anak yang seharusnya wajib mendapat perlindungan dari kekerasan. Kewajiban ini tercantum dalam Pasal 28B Undang-Undang Dasar 1945, “Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 juga secara tegas mengatur larangan kekerasan terhadap anak, khususnya dalam Pasal 76C sebagai berikut, “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak”. Pelanggaran terhadap pasal pelarangan kekerasan terhadap anak tersebut juga diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 80.

Selain mengusut tuntas melalui proses penegakan hukum, ICJR menekankan agar negara juga dapat hadir untuk memprioritaskan perlindungan terhadap korban anak dan keluarganya. Negara melalui lembaga terkait seperti LPSK dan KPPPA perlu memberian perhatian khusus terhadap proses pemulihan bagi korban anak dan keluarganya yang mengalami trauma terhadap kejadian penyiksaan tersebut.

Jakarta, 23 Agustus 2021
Hormat Kami,

ICJR


Tags assigned to this article:
Kekerasan Terhadap AnakPKTA

Related Articles

Menelisik Pasal-Pasal Pidana Krusial dalam Buku II Rancangan KUHP

Saat ini, Pemerintah dan DPR sedang melakukan pembahasan Rancangan KUHP, dimulai dengan pembahasan Buku I. Tidak lama lagi, DPR berkomitmen

Reparasi Korban Penyiksaan Di Indonesia Masih Memprihatinkan

“Tak satupun Korban Penyiksaan Di Tahun 2015 ini Mendapatkan Layanan Negara” Hari Jumat Tanggal 26 Juni 2015, Dunia akan kembali

The Government of Indonesia Intentionally Sabotage Constitutional Court Ruling by Drafting the Government Regulation on Request for Case Review

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) strongly criticizes the policy of Jokowi Administration which is still attempting to initiate Government