Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 21/PUU-XII/2014 telah memperluas objek Praperadilan. Berdasarkan putusan ini, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan yang sebelumnya tidak termasuk objek yang dapat dipraperadilankan, semenjak putusan dibacakan, sah sebagai objek pra peradilan. Putusan ini telah memperluas objek Praperadilan yang sebelumnya hanya pada penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Ikhwal pra peradilan menjadi diskursus yang begitu luas, pasca pembatalan penetapan tersangka Komjen (Pol) Budi Gunawan melalui sidang pra peradilan yang diketuk oleh Hakim Sarpin Rizaldi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Banyak kalangan yang mengecam putusan a quo karena sudah melampaui wewenangnya. Pada saat itu, berdasarkan bunyi Pasaal 77 KUHAP, penetapan tersangka secara eksplisit bukan merupakan objek pra peradilan. Jika ditelisik lebih dalam, polemik yang terjadi, tidak sepenuhnya karena Hakim Sarpin telah melegalkan penetapan tersangka sebagai objek pra peradilan, melainkan ia juga telah “berani” masuk ke pokok perkara, sehingga melalui putusannya “seolah-olah” perkara korupsi yang dituduhkan KPK juga berakhir. Apa lacur, melalui putusan a quo, KPK dianggap tidak berwenang lagi memeriksa perkara Budi Gunawan, sehingga harus mengirimkan berkas perkara untuk ditangani lembaga lain.
Praperadilan secara historis dan filosofis dibentuk guna memberikan pengawan dan kontrol terhadap kewenangan Upaya Paksa oleh aparat penegak hukum. Lebih medasar, Praperadilan dibentuk dengan tujuan melindungi hak asasi manusia. Namun, seiring perjalanan perkembangan hukum, fungsi Praperadilan tersebut tidak terwujud. Dengan adanya putusan MK yang memperluas objek Praperadilan, maka diharapkan perlindungan hak asasi manusia terhadap tersangka atau pihak lainnya dalam proses penyidikan perkara pidana dapat semakin terlindungi. Hal mana sebetulnya, policy tersebut sudah termasuk dalam ketentuan RUU KUHAP yang tengah dibawah oleh DPR. Dengan memunculkan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), hampir semua upaya paksa dapat diperiksa oleh HPP untuk menilai apakah tindakan tersebut sudah dilakukan dengan akuntabel oleh penyidik. Termasuk didalamnya, ikhwal penetapan tersangka. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, namun adanya kewenangan HPP untuk menilai sah atau tidaknya alat bukti yang disampaikan oleh penyidik, maka secara tidak langsung sudah meng-cover sah tidaknya penetapan tersangka. Karena pada dasarnya, penetapan tersangka dilakukan apabila penyidik sudah menemukan, minimal 2 alat bukti permulaan yang sah.
Berdasarkan penjabaran tersebut, kami Komite Masyarakat untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP), dengan ini menyatakan beberapa hal terkait perluasan objek pra peradilan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Diharapkan, semua penegak hukum dalam hal ini termasuk polisi, jaksa dan hakim tidak ada lagi perbedaan persepsi terkait dengan objek pra peradilan karena sudah merupakan hukum positif berdasarkan putusan MK;
- Pemerintah dan DPR segera menyiapkan perangkat hukum acara Praperadilan dalam bentuk UU yang dapat memastikan pelaksanaan proses persidangan pra peradilan dapat dilakukan dengan fair dan akuntabel, sekaligus dapat berjalan efektif mengingat akan banyak gugatan pra peradilan yang akan diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan;
- Mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera merespon perubahan hukum yang sudah terjadi terkait dengan hukum acara pidana, untuk dijadikan masukan terhadap perumusan Rancangan KUHAP yang lebih baik, khususnya terkait kontrol terhadap upaya paksa.