Baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengundangkan Peraturan Menteri No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (Permen Kominfo). Peraturan ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum mengenai tata cara pemblokiran konten internet yang dinilai negatif, sebagai turunan dari pengaturan ‘konten yang dilarang’ sebagaimana tertulis dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Padahal selama ini praktik pemblokiran terhadap konten internet di Indonesia, telah aktif dilakukan oleh Internet Service Provider (ISP) atas perintah Kominfo, tanpa berdasarkan aturan dan prosedur yang memadai. Keberadaan Trust+Positif, sebagaimana disebut dalam Permen Kominfo tersebut, tidaklah memiliki 3 hal: legitimasi, prosedur dan audit kinerja yang transparan dan akuntabel. Setidaknya, pihak Kominfo sendiri belum dapat menunjukkan ketiga hal tersebut. Padahal Trust+Positif adalah database yang dikeluarkan oleh Kominfo, berisi daftar situs yang wajib diblokir oleh para penyelenggara jasa Internet Indonesia (PJI / ISP) di Indonesia tanpa terkecuali.
Pun, kendati bermaksud mengisi kekosongan hukum, kehadiran Permen Kominfo ini mengandung sejumlah kelemahan mendasar, baik secara formil maupun materiil. Pemblokiran terhadap konten internet memang dapat dilakukan oleh negara, sebagai bentuk pembatasan terhadap hak asasi yang memang boleh dibatasi. Hak asasi yang dibatasi dengan adanya Permen ini adalah hak berekspresi dan berinformasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 F, UUD 1945.
Akan tetapi dalam pembatasannya haruslah memenuhi kaidah-kaidah pembatasan, salah satunya adalah keharusan prescribe by law atau diatur dalam undang-undang. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, yang diwakili oleh DPR, serta memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya.
Kaidah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang mengharuskan perumusan cakupan pengurangan hak, hanya mungkin dilakukan melalui pengaturan dalam Undang-undang dan bukan peraturan teknis setingkat Peraturan Pemerintah, apalagi Peraturan Menteri.
Selain itu, pengaturan tersebut haruslah tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan. Di dalamnya termasuk perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), serta bukan daftar dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di re-intepretasikan oleh pembuat kebijakan. Ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan.
Maka merujuk pada uraian di atas, Permen Kominfo ini bertentangan dengan hukum dan mencederai proses penegakan hak asasi, karena pengaturannya dilakukan secara tidak tepat dan serampangan. Tegasnya, meski dibuat melalui peraturan, Permen Kominfo ini adalah sebuah upaya melakukan tindakan pembatasan yang illegal.
Selain ketidaktepatan dalam pengaturannya, rumusan Permen Kominfo ini juga memiliki implikasi serius terhadap penegakan hak asasi. Salah satunya ialah ketiadaan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ‘konten bermuatan negatif’. Walhasil, Permen ini dapat membatasi konten apapunyang ada di Internet, karena rumusan cakupan pengaturannya menjadi sangat luas dan tidak spesifik.
Selain itu, sebagai produk hukum tentang peraturan teknis, Permen Kominfo ini haruslah mengacu, melaksanakan pendelegasian dari UU yang spesifik atau tertentu. Sehingga apabila Permen Kominfo ini merujuk pada UU ITE, maka yang diatur dalam Permen ini adalah pada pasal-pasal larangan dalam UU ITE, dalam hal ini pasal 27 hingga pasal 29. Atau jika merujuk pada UU Pornografi, maka Permen ini seharusnya hanya mengatur konten yang bermuatan pornografi.
Maka secara formil, pemberian kewenangan di dalam Permen Kominfo ini telah bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011), dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan UU yang mendasarinya. Maka, pelaksana teknis Permen Kominfo ini sebenarnya telah diberikan wewenang yang sangat besar untuk merumuskan dan menentukan konten yang dinilai bermuatan negatif, melebihi dari yang telah dirumuskan oleh undang-undang.
Perumusan yang sewenang-wenang juga nampak dengan adanya frasa “kegiatan ilegal lainnya …” di dalam Permen Kominfo tersebut. Rumusan ini semakin mengaburkan batasan pengertian dengan memberikan “blanko kosong” kepada pemerintah untuk bebas melakukan intepretasi atas konten / kegiatan ilegal yang dapat dan/atau wajib diblokir di Internet. Hal tersebut berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan serta mempertinggi tingkat ketidakpastian hukum, yang pada ujungnya merugikan masyarakat Indonesia pada umumnya dan pengguna internet pada khususnya.
Kejanggalan lain dari peraturan ini ialah pemberian kewenangan kepada masyarakat (individu, kelompok masyarakat, sektor bisnis) untuk turut serta melakukan pemblokiran terhadap konten internet yang dinilai bermuatan negatif. Meski terlihat demokratis dengan memberikan ruang partisipasi pada masyarakat, pengaturan ini secara prinsip bertentangan dengan pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang secara jelas merujuk pada kewenangan dan otoritas negara, bukan entitas privat, yang dapat melakukan tindakan pembatasan hak asasi. Bagi sektor bisnis, dalam hal ini para ISP, pemberian kewenangan ini merugikan.
Karena jika Permen Kominfo ini dijalankan, maka selain dapat berdampak pada kenetralitasan jaringan (net neutrality), juga justru membuka banyak celah gugatan hukum kepada para ISP dari konsumen yang merasa haknya dirugikan. Sebab walaupun database blokir memang disediakan (dan diwajibkan oleh Kominfo), secara teknis tindakan pemblokiran memang dilakukan oleh ISP.
Berdasar sejumlah pertimbangan di atas, maka sikap tegas kami adalah sebagai berikut:
- Menolak Permen Kominfo tentang Penangan Situs Internet Bermuatan Negatif. Tanpa berlandaskan pada kebijakan dan prosedur yang jelas, Permen Kominfo tersebut sangat mudah disalahgunakan berbagai pihak untuk melakukan pengekangan kebebasan berekspresi dan penghambatan memperoleh informasi di Internet. Untuk itu kami mendesak peraturan ini segera ditarik kembali dan/atau dibatalkan.
- Mempersiapkan langkah sesuai prosedur hukum, dengan mengajukan judicial review atas Permen Kominfo ini ke Mahkamah Agung (MA). Hal ini mengingat materi yang terkandung dalam Permen tersebut bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.
- Meminta kepada pemerintah baru, untuk segera mengambil inisiatif guna melakukan amandemen terhadap UU ITE. Amandemen tersebut termasuk di dalamnya terkait dengan pengaturan mengenai konten internet, sehingga ada rujukan aturan yang memadai dan menyeluruh, yang dapat memberikan kepastian hukum serta mengedepankan prinsip perlindungan hak asasi.
- Mendorong tata kelola Internet yang transparan, akuntabel dan profesional dengan dialog dan pelibatan aktif pemangku kepentingan majemuk (multi-stakeholder), dalam hal ini pemerintah, masyarakat sipil, sektor bisnis/swasta, akademisi dan komunitas teknis. Dengan dialog yang terbuka, inklusif dan egaliter, maka tata kelola Internet Indonesia yang lebih baik akan dapat diwujudkan kedepannya.
Jakarta, 10 Agustus 2014
ELSAM, ICT Watch, LBH Pers, SAFENET, ICJR, AJI Indonesia, APJII, dan RIDEP Institute