Pada 22 Agustus 2017 lalu Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin menjatuhkan putusan bebas kepada 7 orang pelaku pemerkosaan terhadap S (3 dan 4 orang pelaku dalam berkas terpisah). Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin tersebut yang diketuai oleh Sutriadi Yahya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Marabahan Nomor 20/Pid.B/2017/PN Mrh. yang sebelumnya menghukum ketujuh pelaku dengan masing-masing 7 tahun penjara karena terbukti bersalah secara bersama-sama melakukan perkosaan yang dilakukan secara berlanjut sesuai dengan Pasal 285 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 KUHP. Majelis Hakim Pengadilan Negeri berpendapat bahwa pelaku terbukti bersalah melakukan perkosaan terhadap S yang dilakukan sebanyak 6 kali dalam kurun waktu Juli sampai dengan September 2016. Namun hal yang berbeda kemudian diputuskan pada putusan tingkat banding, majelis hakim PT Banjarmasin membebaskan ketujuh pelaku dengan beberapa pertimbangan.
Instutute for Crimial Justice Reform (ICJR) prihatin dengan beberapa pertimbangan hukum yang dinyatakan dalam Putusan No 42/PID/2017/PT BJM, pertimbangan tersebut cenderung memojokkan korban. Beberapa catatan ICJR terhadap putusan tersebut antara lain:
Pertama, Dalam Putusan Nomor 42/PID/2017/PT BJM Pertimbangan-petimbangan hakim yang diberikan melulu hanya berfokus pada sikap korban. Hampir keseluruhan pertimbangan hakim hanya berfokus pada keadaan-keadaan dan sikap-sikap yang dilakukan oleh korban yang bahkan tidak relevan bagi pembuktian. Mulai dari pertimbangan tentang kejadian pemerkosaan yang terjadi di rumah korban, dan korban sendiri yang membukakan pintu, sampai dengan pernyataan majelis hakim yang tidak segan-segan menyebutkan bahwa korban sendiri yang membuka celananya sendiri dan kemudian terlentang.
Kedua, Dalam pertimbangan tersebut hakim berdalih bahwa unsur kekerasan dan ancaman kekerasan tidak terbukti. Hakim juga tidak segan menyatakan bahwa keterangan korban tidak dapat dipertanggungjawabkan karena pelaku dinilai tidak mungkin dapat melakukan hal-hal yang dijelaskan korban. Bahkan hakim juga secara gamblang mengisyaratkan bahwa korban menghendaki adanya perkosaan tersebut dengan memberikan pertimbangan
“Dengan keadaan dan situasi sebagaimana tersebut ternyata para pelaku yang berjumlah 7 (tujuh) orang tidak terikat dalam ikatan perkawinan, bukan kekasih dari saksi korban S sehingga para pelaku tidak mungkin mempunyai niat untuk mencegah kehamilan dan akan melampiaskan dorongan birahi/nafsunya dalam mencapai kepuasan dengan mengeluarkan sperma di dalam vagina saksi korban S, oleh karena itu keterangan saksi korban Sumaryati di atas layak dan patut dikesampingkan”
Hal yang lebih memprihatinkan ditunjukkan dengan pertimbangan hakim yang tidak mempercayai keterangan korban dengan memberikan pertimbangan bahwa seharusnya korban mengalami keguguran akibat pemerkosaan yang dialaminya. Hakim juga secara terang-terangan menyalahkan korban yang tidak sedari awal melaporkan pemerkosaan yang dialaminya.
Ketiga, Putusan ini jelas menjadi sebuah bukti nyata minimnya jaminan perlindungan korban kekerasan seksual khususnya pemerkosaan dalam peradilan pidana Indonesia, aparat penegak hukum termasuk didalamnya majelis hakim yang seharusnya menjadi corong keadilan ternyuata tidak segan-segan untuk menyalahkan korban, memojokkan korban bahkan mempermalukan korban, majelis hakim dalam perkara tersebut bahkan secara terang-terangan mengabaikan kondisi korban yang mengalami trauma dan depresi yang dibuktikan oleh Surat Keterangan Pemeriksaan Kejiwaan Nomor 441/11322IPF.2/RS.AS, padahal surat keterangan pemeriksaan kejiwaan tersebut masuk ke dalam kategori alat bukti surat sesuai dengan Pasal 184 ayat(1) jo Pasal 187 huruf c KUHAP, dan hakim seharusnya menggali kesesuaian surat keterangan trauma tersebut dengan keterangan yang dinyatakan oleh korban, bukan justru menghubungkan hal-hal yang tidak relevan bagi pembuktian.
Hakim harus mengkaji secara progresif pembuktian unsur kekerasan dan ancaman kekerasan yang tidak lagi hanya dimaknai sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan fisik, ataupun luka yang dialami oleh korban, namun harus didasarkan pada kondisi korban dalam memberikan persetujuannya secara bebas dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang relevan.
Putusan ini jelas menjadi sebuah peringatan bagi para pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan untuk mengevaluasi apakah peraturan yang selama ini ada telah mampu memberikan perlindungan kepada korban dan apakah pelaksanaan praktik peradilan pidana khsusunya untuk kasus kekerasan seksual telah mengakomodir kepentingan korban.
Situasi ini menjadi momentum untuk mensosialisasikan dan mengoptimalkan penerapan Peraturan Mahkamah Agung No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan berhadapan dengan Hukum karena dalam Pasal 5 j.o Pasal 6 PERMA tersebut diatur mengenai hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh hakim dan hal-hal yang dilarang bagi hakim dalam mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum, termasuk larangan hakim menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum, termasuk didalamnya korban kekerasan seksual.
Disamping itu karena jaminan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual tidak hanya dibebankan pada tahap persidangan di pengadilan, perlindungan hak korban baik hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan harus diakomodir dalam setiap tahap sistem peradilan pidana. Maka perlu ada suatu peraturan yang komprehensif yang menjamin terpenuhi hak-hak tersebut. Salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan mendorong DPR untuk segera membahas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dalam rumusannya memberikan jaminan pemenuhan hak atas penanganan termasuk didalamnya hak atas kerahasiaan identitas, hak atas perlindungan terkait dengan jaminan tidak disalahkan dan dituntut atas keterangannya dan juga hak atas pemulihan bagi korban kekerasan untuk dapat melanjutkan hidup, dan yang terpenting, rancangan undang-undang tersebut secara progresif memuat jaminan bahwa korban kekerasan seksual berhak untuk bebas dari pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan mengintimiasi korban dalam setiap tahap sistem peradilan pidana mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, yang mana pengaturan ini belum pernah diatur dalam undang-undang sebelumnya.