Dalam pidato pelantikannya di Sidang Paripurna MPR RI, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato yang menitikberatkan pada langkah-langkah teknis pertumbuhan ekonomi namun sama sekali tidak menyinggung masalah reformasi hukum yang berbasis pada perlindungan HAM. ICJR menilai Presiden sepertinya lupa untuk memperhitungkan bahwa jaminan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia merupakan kondisi yang mutlak untuk pertumbuhan ekonomi. Tanpanya, ekosistem politik dan ekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi akan mustahil terbentuk.
Pada 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya dalam acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 yang digelar melalui Sidang Paripurna MPR RI. Presiden menekankan bahwa kondisi berada di puncak bonus demografi saat ini merupakan kesempatan besar untuk menjadikan Indonesia masuk dalam 5 negara besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen pada 2045. Menurut Presiden, cita-cita ini akan terwujud jika Indonesia mampu membangun SDM yang unggul dan dengan didukung oleh ekosistem politik maupun ekosistem ekonomi yang kondusif. ICJR sekali lagi mengingatkan bahwa jaminan atas kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia merupakan kondisi yang mutlak untuk menciptakan ekosistem politik dan ekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi.
Sejak dinyatakan terpilih secara resmi sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, ICJR telah mengingatkan betapa pentingnya aspek reformasi hukum dan perlindungan HAM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Dalam pidato yang pertama kali disampaikan Presiden setelah dinyatakan sebagai pemenang pemilu pada Juli 2019, Presiden juga sama sekali tidak menyinggung mengenai pentingnya membangun Negara berdasarkan hukum (rule of law) dan memperkuat jaminan hak asasi manusia. Dalam mendorong pembangunan ekonomi, pembangunan Negara hukum adalah suatu condition sine qua non bagi terwujudnya kepastian untuk menjalankan usaha dan investasi di Indonesia. Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia juga telah menegaskan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum” dan aspek terpenting dari negara hukum adalah jaminan hak asasi manusia. Sehingga, Presiden semestinya meletakkan pembangunan Negara berdasar hukum (rule of law) sebagai prioritas pertama pemerintahannya.
Perlu untuk diketahui bahwa berdasarkan data dari World Justice Project (WJP), sejak 2015, skor Indonesia dalam menerapkan prinsip-prinsip rule of law tidak pernah beranjak dari skor 0.52. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam kategori lemah dalam penerapan prinsip-prinsip rule of law.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi malah akan terhambat ketika pemerintah tidak memperhitungkan aspek rule of law dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam pidatonya, Presiden menyinggung beberapa hal yaitu masalah SDM dan regulasi yang menghambat. Namun Presiden tidak secara tegas dan presisi menyebutkan bahwa isu SDM dan Regulasi tidak hanya berfokus pada ekonomi dan investasi semata namun juga, seperti telah disebutkan di atas, terkait persoalan rule of law yaitu isu HAM dan kepastian hukum.
Untuk isu SDM misalnya, Presiden harunya menyebut beberapa aturan karet yang tidak berhasil menyelesaikan masalah malah justru membebani rakyat. Salah satunya UU Narkotika yang memuat banyak pasal karet dan mengadopsi pendekatan punitif ketimbang perlindungan hak asasi manusia menyebabkan jumlah penghuni lapas yang merupakan pengguna narkotika menjadi cukup signifikan. Data Dijen PAS Kemenkumham menunjukkan jumlah pengguna narkotika yang dihukum penjara adalah 42,616 orang dari total penghuni lapas kasus khusus yakni 136,523 orang per September 2019. Padahal, puluhan ribu orang tersebut seharusnya diberikan hak atas kesehatannya melalui pengobatan atau rehabilitasi sehingga dalam usianya yang produktif masih dapat berdaya guna, bukan malah dihukum penjara. Hal ini kemudian jelas menjadi hambatan untuk mewujudkan misi Presiden dalam membentuk SDM unggul sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
Pentingnya isu HAM juga menyasar secara besar persoalan investasi di Indonesia. Contoh paling konkrit adalah Aceh. Aceh menjadi salah satu daerah dengan nilai investasi kecil dan lambat mendorong pertumbuhan ekonomi. Secara khusus, pada 2018 Gubernur Aceh pernah menyebutkan bahwa cambuk akan dipindahkan ke dalam lapas dengan alas an investasi. Hal ini menyambut pernyataan Presiden Jokowi pada 2017 dengan penekanan yang sama, investasi dan masalah hukum cambuk di Aceh.
Dua hal di atas mendorong ICJR untuk kembali mengingatkan agar masalah reformasi hukum dan perlindungan HAM dapat menjadi perhatian yang serius oleh Presiden termasuk ketika menyusun langkah-langkah strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Sebelumnya, dalam pemaparan visi-misi capres dan cawapres pada September 2018, Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa dalam bidang hukum, selain akan melakukan penataan regulasi, Presiden juga akan mendorong reformasi sistem dan proses penegakan hukum, pencegahan dan pemberantasan korupsi, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, serta mengembangkan budaya sadar hukum. Presiden agaknya perlu untuk diingatkan kambali mengenai komitmennya tersebut. Melupakan masalah jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia hanya akan menghalangi terwujudnya ekosistem ekonomi dan politik yang kondusif.
—
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut https://icjr.or.id/15untukkeadilan