Banyak proses hukum dalam perkara terpidana mati bermasalah. Tidak saja upaya pengungkapan didominasi penyiksaan dan keterbatasan akses terhadap bantuan hukum, tetapi proses hukum juga malah gagal menjerat pelaku utama dalam perkara tersebut.
Hal ini menjadi benang merah pertemuan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) serta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dengan media di Jakarta, Minggu (12/4). Hadir sebagai pembicara, peneliti Elsam, Wahyudi Djafar; peneliti ICJR, Supriyadi W Eddyono; dan mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim.
Ifdhal menggarisbawahi proses peradilan di Indonesia yang masih jauh dari keadilan. Menurut dia, dalam sistem peradilan yang demikian sangat berbahaya menerapkan hukuman mati karena terpidana tidak punya kesempatan membela diri lagi.
“Saya tak tahu dari mana rujukan Kementerian Luar Negeri yang mengatakan proses peradilan untuk terpidana mati narkoba sudah adil. Riset kami, hasilnya malah sebaliknya,” kata Ifdhal.
Secara spesifik, ICJR menemukan indikasi penyiksaan dan intimidasi dari aparat dalam proses hukum terhadap 11 dari 42 perkara dengan vonis mati. Tidak hanya terpidana, saksi juga diintimidasi untuk memudahkan pembuktian perkara tersebut.
Dalam proses hukum di Mahkamah Agung terhadap perkara dengan terpidana Zulfikar Ali, terungkap dua saksi mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) karena mendapat tekanan fisik dan mental saat pemeriksaan. Demikian juga dalam perkara Humprey Ejike. Seorang saksi, Dennis, melihat Humprey dipukuli berjam-jam di Polda Metro Jaya hingga kelelahan dan akhirnya menandatangani BAP yang sudah disiapkan.
Supriyadi mengatakan, dari 42 putusan pidana yang diteliti, tujuh di antaranya ternyata tidak didampingi pengacara sejak tingkat penyidikan sampai penuntutan yang justru merupakan tahap terpenting dalam setiap proses hukum pidana. Selain itu, ada 11 putusan yang tak diketahui apakah terpidana mati didampingi pengacara atau tidak. Bahkan, ada terpidana yang mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung tanpa pengacara.
“Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla seperti ingin menunjukkan ketegasannya dengan mengadakan hukuman mati,” kata Wahyudi.
Sumber: Kompas Cetak