UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) digadang – gadang sebagai suatu regulasi yang pro hak anak dan mengadopsi berbagai prinsip – prinsip penting dalam Konvensi Hak Anak. Tak heran jika Amir Syamsuddin, Menteri Hukum dan HAM saat itu, dengan bangga menyatakan bahwa pengesahan UU SPPA merupakan langkah maju dari Indonesia sebagai salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak.
Sambutan positif lain juga datang dari Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 10 September 2014. Menurutnya, UU ini merupakan sebuah kemajuan yang besar di bidang hukum yang memberikan perhatian kepada anak Indonesia yang merupakan generasi penerus bangsa. UU ini juga merupakan produk hukum yang membawa paradigma baru dalam bidang hukum.
Berbagai tanggapan positif terhadap kelahiran UU SPPA tersebut ternyata tidak mengurangi kritik tajam untuk UU SPPA. Kritik pertama justru datang dari kalangan Hakim. Para Hakim yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) tidak hanya mengkritik UU SPPA melalui media, akan tetapi langsung megajukan pengujian konstitusional terhadap UU SPPA di Mahkamah Konstitusi. Kriminalisasi terhadap Hakim adalah penyebab utama, kenapa IKAHI begitu “meradang” dengan kelahiran UU SPPA.
Kritik lain dan keraguan terhadap UU SPPA sebenarnya juga mulai disuarakan beberapa kalangan. Salah kritik adalah disebabkan karena minimnya kontrol terhadap penggunaan upaya paksa. Secara umum, UU SPPA masih mengadopsi prinsip – prinsip dasar dari UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP 1981). Tak heran jika UU SPPA pada dasarnya juga telah membawa cacat “Hak Asasi Manusia” sejak kelahirannya. Bagaimanapun juga, KUHAP 1981 telah mendapatkan banyak kritik karena lemahnya perlindungan hak asasi manusia terutama berkaitan dengan besarnya kewenangan yang ditambah dengan minimnya sarana pengawasan dan kontrol terhadap upaya paksa.
Terlepas dari cacat bawaan itu, UU SPPA juga dilahirkan tanpa persiapan yang memadai. Dalam catatan Institute for Criminal Justice Reform, ada tiga hal penting yang harus dipersiapkan oleh Pemerintah terkait dengan pelaksanaan UU SPPA yaitu mempersiapkan produk hukum pendukung, persiapan terhadap peran aparat penegak hukum, persiapan tempat penahanan dan pemasyarakatan anak.
Untuk itu, tak ada pilihan lain yang tersedia bagi masyarakat sipil selain mendorong pemerintah untuk mempercepat pembuatan regulasi pendukung yang tentunya dengan syarat: dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Selain itu Pemerintah juga perlu didorong untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang diperlukan agar pelaksanaan UU SPPA ini dapat berjalan dengan optimal.
Kertas kerja yang dihasilkan oleh ICJR ini berupaya untuk menggambarkan arah dan panduan yang dapat diambil oleh pemerintah dan berbagai pihak terkait dengan optimalisasi pelaksanaan UU SPPA di masa depan.
ICJR meyakini bahwa UU SPPA masih dapat dioptimalkan pelaksanaannya terutama terkait dengan perlindungan hak – hak anak yang berhadapan dengan hukum. Namun demikian, peran masyarakat sipil juga penting untuk terus dikuatka agar masyarakat dapat terus melakukan pengawasan terhadap pratik – praktik yang terjadi paska diberlakukannya UU SPPA.
Unduh Kertas Kerja disini