JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini telah diselesaikan pemerintah setelah 49 tahun lamanya melakukan pembahasan. Pemerintah melakukan melakukan kodifikasi terhadap KUHP dengan tujuan untuk melakukan dekolonisasi, demokratisiasi, konsolidasi, dan adaptasi serta harmonisasi hukum pidana. Sayangnya menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, rancangan KUHP dari pemerintah justru malah mengancam kebebasan sipil.
Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, berdasarkan catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pembaruan hukum pidana melalui rancangan KUHP tersebut malah mengarah kepada terciptanya sistem politik yang represif terhadap masyarakat. ICJR kata Anggara juga mencatat hal yang sama, khususnya dalam konteks penghormatan dan perlindungan hak – hak dan kebebasan berekspresi dari warga Negara.
Dalam catatan ICJR, rancangan KUHP malah gagal dalam misinya untuk melakukan adaptasi terhadap Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia. “Kegagalan itu setidaknya terlihat dalam isu tindak pidana penghinaan, suatu isu dimana ICJR selalu mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan kebijakan dalam konteks penghinaan dan kebebasan berekspresi,” kata Anggara dalam rilisnya yang diterima redaksi Gresnews.com, Rabu (29/1).
Anggara mengatakan, secara umum, terdapat kecenderungan internasional untuk melakukan dekriminalisasi terhadap penghinaan. Hal ini pula yang didorong secara khusus tidak hanya oleh Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi akan tetapi juga oleh berbagai organisasi internasional.
Hal ini bisa dilihat secara baik dalam Joint Declaration yang dibuat oleh UN Special Rapporteur, The OSCE Representative on Freedom of the Media, dan The Organization of American States Special Rapporteur on Freedom of Expression yang menyatakan dengan tegas bahwa: “Criminal defamation is not a justifiable restriction on freedom of expression; all criminal defamation laws should beabolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws.”
Maknanya kira-kira: “Pidana pencemaran nama baik bukanlah pembatasan dibenarkan terhadap kebebasan berekspresi; semua hukum pidana pencemaran nama baik harus dihapus dan diganti, bila perlu, dengan undang-undang pencemaran nama baik sipil yang sesuai.”
Kenyataannya, kata Anggara dalam rancangan KUHP pemerintah alih-alih melakukan tahapan untuk mulai menerapkan dekriminalisasi penghinaan, malah memilih memperberat ancaman hukuman bagi para pelanggarnya sekaligus juga menghidupkan kembali beberapa pasal yang telah dicabut nyawanya oleh Mahkamah Konstitusi. Misalnya Pasal Penghinaan terhadap kepala Negara RI dan atau wakilnya (Pasal 134, 136 bis dan 137). Oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tanggal 6 Desember 2006 Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pasal-pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sayangnya dalam rancangan KUHP pasal ini dihidupkan kembali dan diklasifikasikan dalam pasal tentang penghinaan dalam bentuk khusus. Menurut Anggara, dalam konteks penghinaan, kalaupun penghinaan masih mau dianggap sebagai sebuah tindak pidana, mestinya para pembentuk UU mulai berpikir untuk menghapus ancaman pidana penjara.
Seruan yang seringkali disampaikan oleh UN Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression menyatakan bahwa penjatuhan pidana penjara bukanlah hukuman yang sah untuk penghinaan. Selain itu, sepertinya tidak ada riset yang cukup mendalam mengenai kebijakan penjatuhan pidana dalam perkara-perkara penghinaan. “Setidaknya, para pembuat rancangan KUHP mestinya berkaca bagaimana Mahkamah Agung menjatuhkan pidana terhadap perkara-perkara pidana terkait dengan penghinaan,” ujar Anggara.
Semua situasi ini kata Anggara mendorong ICJR membuat policy paper bertajuk: “Penghinaan dalam Rancangan KUHP 2013: Ancaman Lama Bagi Kebebasan Berekspresi.”
Paper ini membahas tentang banyaknya ancaman pidana penghinaan dalam pasal-pasal rancangan KUHP. Dalam paper itu ICJR mengemukakan, naskah rancangan KUHP cenderung ‘overcriminalization‘. “Rancangan kebijakan ini mencoba mengkriminalkan sebanyak mungkin perbuatan individu, menempatkan negara dalam posisi pengawas perilaku masyarakat yang ketat, dan melegitimasi penggunaan alat koersif negara, yaitu hukum pidana,” ujar Anggara.
Sebelumnya, mantan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara juga mengeluhkan betapa represifnya pasal-pasal dalam rancangan KUHP pemerintah terhadap pers. “Paradoks Indonesia berlanjut terus. Indonesia telah merdeka dari penjajah kolonial Belanda. Tapi, hukumnya yang represif terhadap orang-orang pers masih tinggal dan digunakan oleh pemerintah,” kata Sabam dalam rilisnya yang disebarkan ke media massa beberapa waktu lalu.
Dia menyebut, rancangan KUHP memiliki 49 pasal yang dapat memidanakan orang-orang pers. “Ratusan orang pers yang sekaligus jadi orang pergerakan, atau orang-orang pergerakan yang juga jadi orang pers, telah dipenjarakan karena didakwa melanggar pasal-pasal tersebut,” kata Sabam. Selain itu ancaman hukumannya pun lebih berat. Misalnya, Pasal 311 (1) KUHP misalnya, ancamannya hanya pidana penjara paling lama empat bulan. Namun dalam Pasal 448 (1) Rancangan KUHP menjadi paling lama lima tahun.
Selain itu, pemerintah masih mempertahankan pasal-pasal haatzai artikelen. Delik permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 154, 155, 156, dan 157 di KUHP) dikenal sebagai pasal-pasal haatzai artikelen menjadi senjata ampuh untuk mengekang kebebasan pers.
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi