Masalah sistem penahanan merupakan masalah serius dalam perjalanan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Pengalaman dan praktik penegakan hukum yang masih berlangsung hingga saat ini cukup menunjukkan bahwa penahanan pra-persidangan telah menjadi salah satu sumber penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat penegak hukum.
Penahanan terhadap seseorang telah lama dianggap sebagai bagian diskresi pejabat yang memiliki wewenang penahanan, tanpa dapat diuji kesahihan penilaian sepihak pejabat tersebut. Praperadilan sebagai satu-satunya mekanisme uji juga tidak berjalan dengan efektif di Indonesia, bahkan hukum acara praperadilan sampai saat ini tidak memiliki mekanisme teknis tertulis, satu-satunya pengaturan beracara praperadilan hanya tertulis dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP. Lebih buruk, praperadilan merupakan mekanisme uji post factum, atau kesalahan dalam penahanan hanya dapat diidentifikasi saat ada permohonan praperadilan, selebihnya? Aparat penegak hukum sama sekali tidak tersentuh.
Lebih jauh, Penahanan pra-persidangan di Indonesia yang mencapai jangka waktu 230 hari sebelum seseorang diajukan ke persidangan mengakibatkan mekanisme kontrol dan pengawasan absen dalam fase ini.Di sisi lain, dualisme pengelolaan tempat penahanan juga menjadi isu penting, KUHAP menekankan bahwa pengelola tempat penahanan haruslah tunggal, dalam hal ini dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM. Secara praktik, aparat penegak hukum juga memiliki tempat penahan sendiri seperti di kantor-kantor Polisi. Dualisme pengelolaan tempat penahanan ini sebenarnya adalah situasi transisi yang tanpa disadari secara perlahan telah menjadi situasi yang permanen tanpa ada kesungguhan untuk mengubah kondisi ini agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hasilnya, tersangka yang ditahan di tempat penahan yang di kelola oleh aparat penegak hukum, rentan untuk menerima penyiksaan.
Dari data pemberitaan di Media yang berhasil dihimpun ICJR, selama 2014 sampai dengan Maret 2015, terdapat sebanyak 48 kasus yang terindikasi kuat terjadinya tindak penyiksaan, dan perlakuan buruk serta merendahkan martabat manusia. Dari 48 Kasus yang berhasil didata, 42 kasus (hampir 90%) melibatkan dan dilakukan oleh Anggota Polisi baik pada tingkatan Sektor, Resor sampai dengan Detasemen Khusus. Polisi sebagai pihak yang paling banyak melakukan penyiksaan maupun kekerasan terkonfirmasi berdasarkan 2.200 laporan yang diterima Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri sepanjang 2014, angka tertinggi kekerasan terjadi dalam proses penyidikan dan BAP.
Selain kemungkinan adanya penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan. Efek dari penahanan sendiri tidaklah sederhana, kerugian besar dapat muncul baik secara materil maupun imateril. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ICJR dan CDS, Penahanan pra-persidangan memaksa munculnya beban biaya langsung pada tahanan dan keluarga. Keluarga pada hampir semua kasus kehilangan pencari nafkah yang berakibat pada hilangnya mata pencaharian. Ditambah lagi keluarga perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk menyokong hidup tahanan dengan kisaran Rp 600.000,- hingga Rp 5.500.000,- per bulannya. Nilai tersebut, dengan Upah Minimum Regional berkisar antara Rp 2.000.000,- sampai dengan Rp 2.500.000,- cukup besar dan menjadi beban bagi banyak keluarga di Indonesia.
Dengan model mekanisme uji seperti praperadilan yang disediakan oleh KUHP, serta kewenangan besar tanpa kontrol milik aparat penegak hukum mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam melakukan penangkapan dan penahanan atau penyalahgunaan kewenangan terbuka lebar. Masalah timbul, bagaimana bila ternyata tersangka atau terdakwa tersebut kemudian dinyatakan bebas atau kasusnya dihentikan. Permasalahan ini sesungguhnya dengan sangat minim dan terbatas sudah diatur dalam KUHAP dan PP 27 Tahun 1983. Namun, aturan ini tidak cukup memadai untuk memberikan keadilan bagi mereka yang salah tangkap atau dalam peradilan sesat di Indonesia.
PP 27 Tahun 1983 tidak manusiawi baik dari segi prosedur atu jumlah ganti rugi. Bayangkan saja, Ganti kerugian hanya dinilai dengan sekurang-kurangnya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), dan Apabila mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
Prosedurnya pun tidak manusiawi, dalam KUHP dan PP 27 Thaun 1983, korban kesewenang-wenangan aparat penegak hukum apabila ingin menunut keadilan harus mengajukan permohonan ke Praperadilan. Artinya korban masih dihadapkan dengan mekanisme gugatan untuk mendapatkan haknya, permasalahannya bagaimana apabila korban adalah orang tidak mampu, dari hasil penelitian ICJR pada 2014, dari 80 kasus praperadilan di seluruh Indonesia, 77 diantaranya diajukan dengan kuasa hukum, ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada kuasa hukum sangat tinggi. Dengan alasan ini, maka orang miskin yang tidak memiliki akses pada kuasa hukum dan pengetahuan hukum, tidak akan mampu untuk mengajukan gugatan ganti rugi tersebut.
Untuk itu, ICJR mendoorong pemerintah agar merubah sistem penahanan di Indonesia dari mulai awal sampai dengan mekanisme komplainnya dengan melakukan beberapa langkah seperti berikut :
Pertama, merevisi PP 27 Tahun 1983, dengan memastikan bahwa besaran ganti rugi harus naik berkali lipat, serta tidak dibatasi nilai maksimalnya dan harus dihitung dengan nilai lamanya dalam tahanan. proses, mekanisme dan prosedur dalam mengajukan ganti rugi harus dipermudah bagi pencari keadilan. Serta perbaikan koordinasi Instansi agar pembayaran ganti rugi. Menjadi sederhana dan tidak memakan waktu lama.
Kedua, mendorongagarPemerintah dalam waktu dekat mengeluarkan aturan mengenai hukum acara praperadilan dangn pengaturan lebih rinci agar memberikan kepastian hukum dan efektifitas bagi pencari keadilan.
Ketiga, memastikan perubahan KUHAP. Rancangan KUHAP harus segera dibahas setalah pembahasan Rancanagan KUHP, Rancangan KUHAP harus menjadi prioritas berikutnya. Bagian yang paling penting adalah mengevaluasi kewenangan aparat penegak hukum dengan menjamin adanya mekanisme kontrol, pengawasan serta uji terhadap segala bentuk upaya paksa. Perubahan sistem penahanan harus dimulai dari kewenangan sampai dengan tempat penahanan.