Rencana Pemberian Remisi bagi Koruptor tidak sesuai dengan Peraturan dan keputusan Mahkamah Agung
Institute Criminal Justice Reform (ICJR) mengritik tegas sikap Pemerintah saat ini yang sedang merencanakan pemberian Remisi bagi Koruptor. Pemberian remisi ini bertolak belakang dengan semangat dan isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan remisi.
ICJR menyangka sikap Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly tidak sepakat dengan Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang pembatasan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tindak pidana kejahatan luar biasa. Menurut Menteri Yasonna, seburuk-buruknya napi kasus korupsi, mereka tetap harus diberikan haknya untuk mendapat keringanan hukuman seperti narapidana kasus lain. Ia berpendapat bahwa PP sangat diskriminatif.
Menurut ICJR Pemerintah seharusnya melaksanakan peraturan yang ia buat sendiri. Oleh karena itu jika pemerintah tetap bersikeras melakukan remisi bagi koruptor yang jelas-jelas melanggar peraturan ini berarti pemerintah sendiri yang tidak taat peraturan.
Pemerintah juga sebaiknya membaca secara lebih cermat Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013 yang telah memberikan legitimasi yang sangat kuat bagi pelaksanaan atas PP 99 tahun 2012, sehingga tidak ada alasandiskriminatif dan melanggar hak narapidana koruptor yang dinyatakan sebelumnya oleh pemerintah.
Menurut pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa:
“…Bahwa tidak ternyata ada pertentangan antara Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 karena tujuan utama dari Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 adalah pembinaan narapidana. Pembinaan yang berbeda terhadap narapidana, merupakan konsekuensi logis adanya perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana, perbedaan sifat berbahayanya kejahatan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing narapidana;
“……bahwa keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 memperketat syarat pemberian Remisi agar pelaksanaannya mencerminkan nilai keadilan. Sehingga menunjukkan pembedaan antara pelaku tindak pidana yang biasa atau ringan dengan tindak pidana yang menelan biaya yang tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik yang harus ditanggung oleh Negara dan/atau rakyat Indonesia. Dengan demikian, perbedaan perlakuan merupakan konsekuensi etis untuk memperlakukan secara adil sesuai dengan dampak kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa, dari kejahatan yang dilakukan masing-masing narapidana
“…korupsi di Indonesia telah merampas hak-hak dasar sosial dan ekonomi dari rakyat Indonesia dan berlangsung secara sistemik dan meluas sehingga menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes); …..Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 justru menunjukkan adanya konsistensi roh atau spirit penanggulangan kejahatan berat atau yang bersifat Extra Ordinary Crimes, agar kejahatan tersebut tidak sampai meruntuhkan tatanan sosial dalam masyarakat bangsa Indonesia
“….Menimbang, bahwa rejim Undang-Undang Pemasyarakatan adalah Rejim pelaksanaan pemidanaan dan pemasyarakatan/pembinaan. In casu, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 ternyata tidak menghilangkan hak-hak narapidana dalam rangka menjalani pidana yang dijatuhkan oleh Rejim Pengadilan, melainkan melaksanakan proses pelaksanaan pemidanaan tersebut secara efektif dan pembinaan yang tepat agar tujuan pemidanaan tersebut dapat tercapai maksimal. Oleh sebab itu, antara Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah objek Hak Uji Materiil tidak terdapat “irrelevansi ideolistik Hukum” didalamnya, dan tidak pula terdapat pelanggaran terhadap asas “Kewerdaan/ penjenjangan” peraturan perundang-undangan;
“….Menimbang, bahwa adanya pengaturan pengetatan pemberian hak tersebut terhadap kejahatan tertentu yang memang menjadi prioritas untuk diberantas adalah dapat diterima. Khusus terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sebenarnya merupakan pihak yang berpotensi merusak kemungkinan warga negara untuk mendapatkan segala macam jaminan hak ekonomi, sosial dan budaya yang termuat dalam ketentuan Pasal 22 DUHAM. Hal tersebut sudah menjadi masalah serius yang telah mengancam stabilitas dan keamanan nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan dan penegakan hukum;
“…Menimbang, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tidak bertentangan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011; Menimbang, bahwa dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 telah mendasarkan pada Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 karena keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 merupakan perintah Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dan dalam pembentukannya telah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik, yaitu: kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan..”
Untuk ICJR menyerukan agar pemerintah konsisten dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dan juga berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Artikel Terkait
- 02/11/2017 Tolak Remisi untuk Koruptor
- 16/08/2016 Misteri Pemberian Status JC : Kejaksaan Keluarkan 670 Status JC Dari 2013 Sampai Juli 2016
- 15/08/2016 Catatan dan Rekomendasi ICJR terhadap Rencana Remisi Korupsi & Remisi Pengguna Narkotika Dalam RPP Hak Warga Binaan
- 16/05/2016 Permohonan Keberatan Terhadap Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
- 06/02/2015 ICJR dan ICW gugat Surat Ederan Menteri Hukum dan HAM Yang Membuka Celah Pemberian Remisi Bagi Para Koruptor
Related Articles
Meningkatnya Ancaman Pidana Dalam Pasal Penghinaan RKUHP
Tindak pidana penghinaan dalam KUHP: unsur atau elemen penghinaan harusnya lebih presisi, alasan Pembenar lebih diperluas dan ancaman pidana yang
ICJR: RUU Larangan Minuman Beralkohol Memicu Overkriminalisasi
RUU Larangan Minuman Beralkohol kembali masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2015. Sebelumnya, dengan dorongan oleh Fraksi
Tunda Pembahasan RKUHP, Bukti Kepedulian Presiden Jokowi dan DPR pada Penderitaan Rakyat
Berita tentang DPR yang akan mengesahkan RKUHP dalam seminggu merupakan kabar yang memprihatinkan. Langkah tersebut jelas tidak menunjukkan niat baik