Pada 21 Mei 2025, mahasiswa Trisakti menggelar aksi di depan Balai Kota DKI Jakarta untuk memperingati 27 tahun reformasi. Sebanyak 93 massa aksi ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya. Dari 93 orang yang ditangkap tersebut, 15 orang mahasiswa ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas dugaan penghasutan dan penyerangan petugas.
Rangkaian proses hukum dalam bentuk kriminalisasi terhadap massa aksi bukan pertama kali terjadi. Saat ini, bentuk-bentuk penangkapan yang tidak perlu hingga penetapan tersangka jamak dilakukan kepada massa aksi. Sebelumnya, pola kekerasan dan kesewenang-wenangan serupa juga terjadi dalam aksi Peringatan Darurat dan May Day 1 Mei lalu. 13 orang ditetapkan tersangka atas tuduhan yang lebih cenderung dibuat-buat yaitu terkait tidak mematuhi perintah petugas.
Dalam kedua kasus tersebut, ditemui pula narasi dimana Polisi tidak jelas memberi status pada orang yang ditangkap. Polisi menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bukanlah penangkapan, melainkan “pengamanan” — sebuah istilah yang tidak dikenal dalam KUHAP. Selain itu, status pemeriksaan juga tidak jelas: awalnya Polisi menyatakan akan membebaskan, lantas kemudian ditetapkan tersangka, bahkan dalam kasus trisakti malah diberlakukan penahanan.
Terhadap pola ini, ICJR memberikan catatan kritis bahwa ini adalah praktik yang tak sesuai hukum acara pidana, melanggar HAM, seharusnya terhadap korban diberikan kompensasi, dan segala proses kriminalisasi tidak dapat dilakukan.
Ada 5 catatan kritis yang kami miliki, yaitu:
Pertama, pengaburan penangkapan dengan narasi “pengamanan”
Penangkapan yang dilakukan terhadap 93 mahasiswa Trisakti dibantah oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya (Kabid Humas Polda Metro) Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi. Menurut Ade, apa yang dilakukan pihaknya itu pengamanan atau diamankan, bukan penangkapan. Hal serupa juga terjadi pada massa aksi Peringatan Darurat dan aksi May Day.
Sejatinya, Polisi diberi kewenangan untuk melakukan upaya paksa, salah satunya adalah penangkapan yang mana hal tersebut merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia dan kewenangan tersebut diatur dalam KUHAP. Penangkapan hanya dapat dilakukan jika seseorang tertangkap tangan atau berdasarkan dua alat bukti yang cukup. Bukan dengan “diamankan dulu” tanpa kejelasan status. Yang dapat ditangkap hanyalah tersangka.
Kedua, massa yang ditangkap dipaksa tes urine tanpa dasar
Dalam aksi May Day, massa aksi diketahui diminta melakukan tes urine, padahal tidak ditemukan narkotika maupun bukti permulaan yang sah untuk melakukan penyidikan tindak pidana narkotika.
Padahal, dalam kerangka kebijakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 75 mengatur bahwa pengambilan sampel tubuh—termasuk tes urine—hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan. Penyidikan tersebut harus didasarkan pada adanya penguasaan atau kepemilikan narkotika. Dengan demikian, tes urine tidak dapat dilakukan terhadap sembarang orang. Jika tak ada bukti permulaan, maka tes urine tidak dapat dipaksakan dan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan.
Ketiga, pemeriksaan terhadap massa aksi tidak jelas batas waktunya
Pemeriksaan terhadap massa aksi dilakukan secara ilegal karena melewati batas waktu penangkapan. Padahal, ketentuan mengenai jangka waktu penangkapan diatur secara tegas dalam Pasal 19 KUHAP, yang menyatakan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan paling lama satu hari (24 jam).
Massa aksi May Day juga menyatakan bahwa mereka ditahan lebih dari 24 jam tanpa kejelasan mengenai status hukum mereka. Selain itu, massa aksi yang telah ditangkap dan diperiksa, namun tidak ditemukan adanya tindak pidana, dipulangkan tanpa diberikan kompensasi apa pun.
Keempat, penghalang-halangan akses bantuan hukum
Dalam beberapa kasus penangkapan terhadap para peserta aksi, pemeriksaan dilakukan terlebih dahulu tanpa adanya pendampingan hukum. Tindakan ini jelas melanggar ketentuan Pasal 14 ICCPR dan Pasal 60 KUHAP. Pada intinya, ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap individu berhak memperoleh jaminan berupa waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaannya, serta berhak berkomunikasi dengan pengacara pilihan mereka sendiri secara bebas.
Kelima, bukti untuk menetapkan tersangka tidak transparan dan tidak disampaikan kepada pendamping hukum
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mendampingi peserta aksi May Day, dimana 13 orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara itu, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Trisakti turut mendampingi peserta aksi peringatan 27 tahun reformasi, dengan 15 mahasiswa yang saat ini juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, Polda Metro Jaya tidak secara jelas menyampaikan bukti yang digunakan sebagai dasar penetapan status para tersangka tersebut kepada mereka yang mendampingi.
Padahal, penetapan tersangka seharusnya dilakukan secara profesional, proporsional, dan transparan guna mencegah penyalahgunaan wewenang serta tak semata-mata bertendensi menjadikan seseorang langsung menjadi tersangka. Apalagi tanpa kejelasan basis bukti yang digunakan.
ICJR sangat mencermati pelanggaran prosedur yang terus terjadi menyasar massa aksi ini. Hal ini menandakan sama sekali tidak akuntabelnya proses peradilan pidana di Indonesia dan tidak ada kompensasi yang substantif atas pelanggaran hak asasi dalam prosedur pidana ini. ICJR tekankan hal ini terus langgeng karena memang sedari awal KUHAP yang berlaku saat ini sangat minim menjamin akuntabilitas aparat penegakan hukum, utamanya Polisi, pada masa awal penyelidikan, penangkapan, dan pemeriksaan.
Seharusnya, penangkapan tidak boleh dikaburkan dengan dalih “pengamanan”. Selain dalam kondisi tertangkap tangan, seseorang tidak dapat langsung ditangkap begitu saja tanpa dasar hukum yang sah.
Prinsip hak asasi manusia menjamin bahwa setiap orang yang ditangkap, maka 48 jam setelah itu ia harus dihadapkan kepada otoritas yudisial/hakim untuk dinilai apakah penangkapannya sah dan dapat diberlakukan proses hukum dan penahanan. Sayangnya, mekanisme ini sama sekali tidak diatur dalam KUHAP yang berlaku saat ini, sehingga begitu enteng bagi Polisi untuk menangkap dengan dalih “pengamanan” tanpa adanya fungsi pengawasan yang menguji legalitas penangkapan tersebut.
Lebih parah lagi, keburukan ini dipertahankan dan bahkan diperkuat oleh Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) 2025. Tak ada perbaikan pengaturan mengenai penyelidkan dan penangkapan yang berpotensi mengabadikan praktik-praktik pelanggaran hukum acara pidana dan represi terhadap massa aksi. Kesalahan ini justru akan dilegitimasi nantinya ketika RUU KUHAP 2025 disahkan.
Atas hal tersebut, ICJR menyerukan:
- Presiden dan Komisi III DPR RI perlu memanggil Kapolri untuk evaluasi seluruh tindakan aparat dalam penanganan massa aksi, utamanya penangkapan sewenang-wenang dan kriminalisasi tanpa dasar;
- Kapolri harus menghentikan kriminalisasi terhadap massa aksi;
- Pemerintah dan DPR RI dalam pembahasan RUU KUHAP harus memperkenalkan bahwa penangkapan harus berdasarkan bukti yang cukup selain tertangkap tangan. Ketika orang ditangkap, maka 48 jam setelah itu ia harus dihadapkan kepada otoritas yudisial/hakim untuk dinilai apakah penangkapannya sah dan dapat diberlakukan proses hukum dan penahanan. Jika berdasarkan penetapan pengadilan harus dilepaskan, maka orang tersebut harus diberikan kompensasi uang secara langsung.
Jakarta, 26 Mei 2025
Hormat Kami,
ICJR