Kamis, 04 April 2024, proses persidangan Daniel Frits masuk pada tahap pembacaan putusan pengadilan. Dalam Putusan Nomor 14/Pid.Sus/2024/PN Jpa, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jepara menyatakan Daniel Frits terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Kami melihat adanya kekeliruan dalam pertimbangan Majelis Hakim terhadap pasal tersebut, yang sebenarnya adalah materi hukum pidana yang sangat mendasar.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE telah berubah rumusannya melalui UU No. 1 Tahun 2024. Dalam kondisi seperti ini, Majelis Hakim harus mempertimbangkan Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang Asas keberlakuan wajib ketentuan yang paling menguntungkan bagi Terdakwa apabila terdapat perubahan undang-undang. Makna dari ketentuan yang paling meringankan tidak terbatas pada adanya perubahan sanksi pidana maupun dekriminalisasi perbuatan tertentu. Ketentuan ini haruslah dimaknai secara luas termasuk adanya perubahan rumusan unsur tindak pidana seperti yang terjadi dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE terbaru, rumusan “berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” telah diubah menjadi “berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik” yang ditujukan secara jelas menghapuskan ketidakjelasan unsur “antargolongan” Di sini terlihat bahwa terdapat perubahan yang sangat signifikan yaitu adanya perumusan unsur yang lebih jelas terkait dengan kelompok yang dilindungi oleh pasal ini. Jika membandingkan rumusan pasal sebelum dan setelah diubah, jelas bahwa perubahan pasal dalam UU ITE terbaru meringankan bagi terdakwa karena adanya kejelasan terkait SARA.
Adanya perubahan tersebut sekaligus memperjelas bahwa ujaran kebencian yang dimaksud haruslah terbatas pada identitas yang sifatnya melekat dan permanen seperti yang disebutkan dalam rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terbaru. Artinya, ketentuan ini tidak dapat diberlakukan pada ujaran yang merujuk pada masyarakat umum. Dalam hal ini, komentar Daniel Frits yang memuat frasa “otak udang” kepada masyarakat secara umum tidak lagi termasuk dalam lingkup Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Selanjutnya, dengan dihapuskannya unsur ‘antargolongan’, maka pendapat MK nomor 76/PUU-XV/2017 yang mendefinisikan “antargolongan’ tidak lagi dapat digunakan untuk menafsirkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam kasus ini.
Sayangnya, Majelis Hakim gagal dalam memaknai Pasal 1 ayat (2) KUHP. Majelis Hakim hanya memaknai ketentuan tersebut sebagai ada atau tidaknya perubahan sanksi serta ada atau tidaknya dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu. Artinya, hakim malah membatasi asas tersebut hanya pada kondisi suatu tindak pidana tidak lagi menjadi tindak pidana. Kekeliruan penafsiran Majelis Hakim ini melahirkan kekeliruan lainnya dalam pembuktian unsur Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Karena masih menggunakan frasa “antargolongan”, Majelis Hakim berusaha menarik fakta-fakta hukum berupa adanya pro dan kontra di masyarakat tentang kasus Daniel serta adanya laporan dari sekelompok warga sebagai bentuk “antargolongan”. Hal ini jelas keliru. Diskursus atau perdebatan di masyarakat bukanlah tindak pidana. Adanya kelompok pro dan kontra ini adalah konsekuensi logis dari sebuah pendapat yang dikeluarkan seseorang, sehingga pasti akan melahirkan adanya persetujuan maupun penolakan terhadap pendapat tersebut. Bentuk pro dan kontra di masyarakat yang lahir dari sebuah komentar, jelas tidak dapat ditafsirkan untuk memenuhi Pasal 28 ayat (2) UU ITE terbaru. Selain itu ada unsur penting perbuatan Pasal 28 ayat (2) ini yaitu harus berupa perbuatan “menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain.” Majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan perbuatan ini, padahal ini arti penting ujaran kebencian.
Pertimbangan dalam putusan tersebut, memperlihatkan bahwa Majelis Hakim keliru dalam menafsirkan Pasal 1 ayat (2) KUHP karena tidak melihat adanya perubahan unsur yang berpengaruh secara signifikan terhadap Pasal 28 ayat (2). Selain itu, Majelis Hakim juga gagal memahami maksud dari maksud dari ujaran kebencian dalam pasal tersebut. Di sini, Majelis hakim hanya mempertimbangkan adanya pro dan kontra dari masyarakat umum terkait komentar Daniel tanpa mempertimbangkan lebih jauh terkait niat jahat dan ujaran yang memang dilontarkan atas dasar identitas yang sifatnya melekat dan permanen, bukan hanya masyarakat umum.
Kami sangat menyayangkan pertimbangan Majelis Hakim dalam kasus ini. Kekeliruan dalam mempertimbangkan hal-hal mendasar seperti ini akhirnya berdampak buruk pada pemenuhan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia. Putusan dengan penafsiran demikian telah memperpanjang daftar kriminalisasi terhadap masyarakat yang mengemukakan pendapatnya terkait masalah sosial yang terjadi. Kekeliruan ini membuat seorang Pembela Lingkungan Hidup yang aktif harus berakhir di dalam Penjara selama 7 bulan dan denda lima juta rupiah.
Kami sangat mempertanyakan mengapa kesalahan mempertimbangkan materi pidana dapat terjadi dalam kasus ini. Kami mengkhawatirkan hal ini dikarenakan adanya tekanan publik untuk memidana Daniel yang menyebabkan pengadilan berjalan atas desakan tersebut atau trial by mob karena terlalu menyedihkan melihat pertimbangan yang mereduksi asas paling dasar yaitu asas legalitas hukum pidana.
Hormat Kami,
ICJR
4 April 2024
Akses putusan di sini