Informasi dari rapat paripurna DPR 2 April 2020 yang digelar terbuka mengejutkan masyarakat sipil. Hal itu sehubungan dengan kabar bahwa RKUHP akan segera disahkan. Padahal sampai saat ini saja, tata tertib DPR tentang tindak lanjut dari Surat Presiden terkait carry over belum diketahui kejelasannya oleh masyarakat luas. Berita tentang rencana DPR mengesahkan RKUHP dalam sepekan di masa darurat Covid-19 ini akan menambah catatan buruk DPR dan Pemerintah.
Sikap terburu-buru yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR saat ini menunjukkan aji mumpung di kala pandemic Covid-19 sedang berlangsung. Langkah tersebut jelas tidak menunjukkan niat baik Pemerintah maupun DPR untuk serius mengedepankan kesehatan warga negaranya.
Tidak hanya RKUHP yang kualitas substansinya akan dikesampingkan jika disahkan saat pandemi berlangsung. Namun ada beberapa RUU lain yang juga akan menjadi polemik, seperti RUU Ketahanan keluarga dan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja. Besar kemungkinan bahwa beberapa RUU tersebut diatas akan mengandung ketentuan yang tidak relevan bagi konteks sosial masyarakat Indonesia kedepan. Selain itu, masih banyak masalah yang timbul dari pasal-pasal yang seharusnya dibahas lebih dalam dan menyeluruh, terutama terkait dengan perempuan dan kelompok marjinal.
Dalam situasi pandemi seperti saat ini, perempuan lebih rentan terhadap KDRT; Perempuan juga mengemban beban ganda sebagai pekerja dan pengelola rumah tangga; Tenaga kesehatan perempuan pun menjadi garis terdepan dalam penanggulangan Covid-19 dengan minim proteksi; Transgender perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak kesejahteraannya dari pandemi ini; Kesehatan mental perempuan pun menjadi permasalahan yang belum ditemukan solusi konkritnya.
Virus Corona dan Dampaknya Pada Tenaga Kesehatan Perempuan
Menurut data dari WHO tahun 2019, jumlah perempuan sebagai tenaga kesehatan secara global mencapai 70% dari total keseluruhan tenaga kesehatan. Di Asia Tenggara, mayoritas tenaga kesehatan adalah perempuan. Perawat misalnya, berada di angka 79%. Sementara dari seluruh dokter di Asia Tenggara, 61%-nya adalah perempuan. Di Indonesia, 71% atau 259.326 orang adalah perempuan (PPNI, 2017). Fakta ini menunjukkan, bahwa tenaga kesehatan perempuan berada di garda terdepan yang beresiko terinfeksi virus. Oleh karenanya pemerintah perlu memperhatikan pemenuhan kebutuhan spesifik tenaga kesehatan perempuan. Kebutuhan yang harus dipenuhi bukan hanya peralatan seperti APD, namun kebutuhan spesifik lainnya seperti kebutuhan menstrual hygiene dan kebutuhan dukungan psikologis kepada tenaga kesehatan perempuan.
Salah satu kendala yang dihadapi tenaga kesehatan berada di garis terdepan penanggulangan Covid-19 adalah kelangkaan APD dan harga yang meningkat tajam. Hal ini menyebabkan beberapa tenaga kesehatan, termasuk tenaga medis perempuan memberikan layanan tanpa APD yang sesuai dengan standar. Dampak lainnya adalah, beberapa tenaga kesehatan perempuan memberikan layanan konsultasi online dan tidak berpraktek secara fisik. Salah satunya adalah klinik PKBI yang memberikan layanan kesehatan khusus bagi klien yang membutuhkan layanan kesehatan reproduksi, seperti: layanan kontrasepsi, pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS, onstetic/gynekologi (pemeriksaan kehamilan), konseling remaja, pemeriksaan SGBV, dan layanan konseling kesehatan reproduksi lainnya.
Dampak lain dari kelangkaan APD, harga yang meningkat tinggi dan fokus layanan kesehatan kepada Covid-19 salah satunya adalah semakin sulitnya akses layanan kesehatan bagi problem-problem kesehatan lainnya. Seperti layanan kesehatan reproduksi yang semakin menurun. Di beberapa klinik ataupun puskesmas, klien sulit mengakses layanan pemeriksaan VCT-HIV, dan belum bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk terlibat dalam pengurangan dampak dan resiko penularan. layanan lain yang menjadi menurun adalah layanan PMTCT (Penularan HIV pada perempuan hamil ke bayinya), hal ini disebabkan karena beberapa pusat layanan kesehatan tidak lagi memberikan layanan sehingga pencegahan HIV/AIDS terhadap perempuan hamil ke bayinya lambat untuk terdeteksi. Bahkan tanpa adanya pandemik Covid-19, mereka adalah kelompok yang dimarjinalkan, dan dengan adanya pandemik, maka pelayanan bagi merekapun semakin menurun, ditambah lagi dengan kerentanan yang mereka miliki.
Akses perempuan hamil juga sulit terutama untuk mengetahui perkembangan kesehatan janin dan perempuan hamil itu sendiri, karena perempuan hamil hanya akan memeriksakan kehamilannya jika ada indikasi kedaruratan medis. Hal itu tentunya akan berdampak juga dalam penanganan KTD berbasis konseling. Dengan usia kehamilan yang semakin membesar namun tidak selaras dengan pemberian layanan konseling yang komprehensif, akan berbahaya bagi kesehatan perempuan itu sendiri baik secara fisik, psikis dan sosialnya. Selain itu juga, kelangkaan APD dapat menjadi alasan terhentinya program pemerintah terkait layanan kespro. Contohnya, saat ini program Keluarga Berencana yang digagas BKKBN dan PKBI belum dapat diterapkan dengan maksimal untuk layanan kontrasepsi permanen. Layanan itu, sementara ini tidak dapat berjalan sehingga akses laki-laki dan perempuan usia subur untuk mendapatkan layanan kontrasepsi secara gratis tidak dapat terlayani.
Maka dari itu, pemerintah juga didorong oleh DPR perlu mengatur regulasi terkait penentuan harga jual APD dan memperioritaskan penggunaannya untuk tenaga kesehatan. PKBI saat ini melakukan pengurangan jam layanan dan pembagian jam dan hari kerja untuk staf klinik layanan, serta mengoptimalkan layanan dengan media online. Akan tetapi hal yang sama tidak dapat dipastikan dengan layanan yang diberikan oleh pemerintah sehubungan dengan kespro, sehingga diperlukan mekanisme pemberian layanan yang tidak menyulitkan masyarakat umum dalam mengakses layanan kespro.
Peran Ganda dan Kepemimpinan Perempuan di Kala Pandemi
Seperti yang telah disebutkan Komnas Perempuan pada 26 Maret 2020 lalu, kebijakan PSBB menambah kerja berlapis terhadap perempuan. Skema belajar di rumah dan kerja di rumah setidaknya membebani perempuan mengambil peran untuk menjadi guru, pengasuh utama anak dan anggota keluarga lainnya, sambil mengerjakan pekerjaan produksi dan domestik. Selain menambah beban kerja, peran sosial yang dilekatkan perempuan membuat perempuan semakin berisiko terkena Covid-19. Aktivitas belanja yang dibebankan kepada perempuan misalnya, meningkatkan kemungkinan kontak secara fisik dengan pedagang atau orang luar.
Selain itu, peran sebagai pengasuh dan pelindung membuat perempuan lebih dulu mengutamakan kesehatan anak dan anggota keluarganya daripada kesehatan mereka. Hal ini sedikit banyak berdampak pada bagaimana perempuan merespon gejala kesehatan yang dialami dirinya dan anggota keluarganya. Melihat fenomena ini di tengah pandemi yang semakin tidak menentu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan dapat menyerukan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, khususnya dalam hal beban asuh, beban produksi, dan ranah domestik.
Pentingnya kesetaraan gender juga harus diperhatikan dalam penanggulangan Covid-19 yang saat ini sedang dilakukan. Kendati jumlah tenaga kesehatan mayoritas adalah perempuan, namun dalam konteks penanggulangan Covid-19 sekalipun kepemimpinan atau leadership justru minim. Menteri Kesehatan, Juru Bicara Pemerintah Indonesia untuk penanganan Covid-19, Ketua Gugus Tugas Covid-19, Ketua Tim Penetapan PSBB, hingga Kepala Krisis Pusat Krisis Kementerian Kesehatan merepresentasikan kepemimpinan laki-laki, hal ini sedikit banyak berdampak langsung dari kebijakan yang dihasilkan mulai dari PP tentang PSBB, Permenkes tentang PSBB hingga penetapan PSBB di beberapa wilayah di Indonesia utamanya provinsi DKI Jakarta tidak ada yang memperhatikan upaya untuk tetap menjamin kesetaraan gender pada situasi pandemik utamanya dalam pelaksanaan PSBB. Kepemimpinan perempuan harus terjamin pada posisi penting penanggulangan Covid-19 untuk menjamin aspek gender terpenuhi dalam penanggulangan pandemi ini.
PSBB tanpa Jaminan Ekonomi
Saat ini, himbauan social distancing yang digalakkan oleh pemerintah tidak diimbangi dengan upaya negara untuk memberikan jaminan ekonomi kepada masyarakat. PSBB secara langsung maupun tidak langsung akan membatasi gerak masyarakat. Proses belajar mengajar di sekolah dan warga yang bekerja akan dibatasi menjadi kerja atau belajar di rumah. Limitasi aktivitas di ruang publik ini akan berdampak pada penghasilan masyarakat, terutama mereka yang berada di ekonomi menengah ke bawah. Beberapa pasar saat ini memang telah menerapkan sistem belanja online, seperti yang dilakukan di Pasar Tanah Abang. Akan tetapi ada banyak pedagang yang tidak memasukkan bisnisnya ke dalam sistem belanja online. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kemampuan atau pemahaman terkait e-commerce di kalangan pedagang kecil. Pedagang keliling dan pedagang pasar kaget contohnya, luput dari jangkauan sistem belanja online. Seperti yang dilansir oleh Detik.com, pedagang di Menteng Atas mengaku penghasilannya harus turun drastis semenjak pemerintah menghimbau karantina mandiri self-quarantine bagi masyarakat.
Selain itu, tekanan ekonomi juga semakin diperparah dengan fakta bahwa ribuan buruh perempuan mengalami PHK selama wabah Covid-19. Padahal, desakan ekonomi di kala pandemi tidak tertahankan, bahkan cenderung melonjak naik. Seperti yang telah kita ketahui, panic buying yang dilakukan sekelompok masyarakat serta perilaku menimbun barang berpengaruh pada lonjakan harga barang-barang rumahan, termasuk bahan pokok seperti beras dan gula. Hal ini semakin menyulitkan masyarakat kelompok bawah yang kehilangan penghasilan selama pandemi. Tidak adanya jaminan ekonomi yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat kelas bawah di tengah situasi pandemik seperti ini membuktikan bahwa adanya kegagalan pemerintah dalam menanggulangi Covid-19.
Dalam Pasal 78 UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dijelaskan bahwa kegiatan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau masyarakat. Dalam hal pelaksanaan PSBB yang masuk ke dalam bentuk penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan pemerintah bertanggung jawab menyediakan anggaran. Pemberlakuan PSBB harus diikuti dengan jelasnya pemenuhan kebutuhan dasar kelompok rentan di daerah tersebut. Skema pemenuhan kebutuhan dasar dari pemerintah daerah penyelenggara PSBB harus jelas, berdasar hukum dengan klasifikasi yang jelas kelompok kategori apa yang mendapatkan, kebutuhan dasar apa yang diberikan dan bagaimana penyalurannya, bukan hanya kegiatan tak terukur mengedepankan gimmick tak perlu. PSBB tanpa ada insetif san solusi ekonomi yang jelas tidak akan berdampak positif, ancaman sanksi pun tidak dapat diberlakukan ketika pemerintah tidak menyediakan mitigasi dan solusi yang memadai.
Corona dan Kesejahteraan Hidup orang-orang LGBTI
Mengikuti pelemahan ekonomi masyarakat pada pandemi Covid-19, tentunya ada kelompok masyarakat yang sebelumnya telah termarjinalkan, menjadi lebih terpuruk. LGBTI salah satu komunitas marginal di Indonesia menerima dampak yang lebih berat dari kelompok masyarakat lainnya dari pandemi ini, terutama transgender perempuan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar dari komunitas transgender perempuan bekerja di jalan. Physical distancing sebagai usaha preventif untuk menekan penyebaran pandemi Covid-19 membuat penghasilan sebagian besar komunitas transgender perempuan berkurang drastis. Dari asesmen cepat yang dilakukan oleh Sanggar SWARA, ada lebih dari 640 transgender di Jabodetabek yang kehilangan pekerjaannya. Banyak dari mereka yang kesulitan mengakses bantuan sembako yang dibagikan oleh pemerintah hanya karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini membuat mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi diri, termasuk untuk makan sehari-hari.
Selain itu, stigma terhadap identitas gender, orientasi seksual, ekspresi gender minoritas kian menguat dengan adanya pandemi ini. Baru pada 4 April yang lalu, berita tentang Mira, transgender perempuan yang dibakar hidup-hidup hingga meninggal dunia di saat pandemi ini menyeruak. Patut diduga mengeraskan stigma terhadap komunitas ini adalah penyebab utamanya.
Komunitas LGBTI tak jarang dijadikan kambing hitam, atas penyebaran Covid-19, yang membuat komunitas LGBTI jauh dari akses bantuan. Stigma dan diskriminasi itu diaminkan oleh negara melalui usaha kriminalisasi dan repatologisasi melalui RKUHP dan RUU Ketahanan Keluarga. Maka dari itu, asas kehati-hatian dan non-diskriminasi yang diungkapkan Yasonna Laoly dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI dan Menkumham, pada tanggal 1 April 2020 yang lalu, penting untuk diterapkan, terutama sehubungan dengan kelompok rentan, LGBTI.
Social Distancing dan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Himbauan pemerintah untuk masyarakat “di rumah saja”, menimbulkan suatu polemik tersendiri kepada perempuan dan anak. Ketidakpastian negara dalam mengambil sikap sehubungan dengan Covid-19 ini menimbulkan kekhawatiran akan masa depan sebagian masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang mengalami tekanan ekonomi dan psikis di rumah tangga.
Sekjen PBB, Antonio Guterres mengungkapkan bahwa peningkatan tekanan sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh Covid-19, juga meningkatkan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada perempuan dan anak-anak perempuan. Pernyataan ini dibenarkan oleh Lily Puspasari, Programme Management Specialist UN Women untuk Indonesia. Dalam wawancaranya Lily Puspasari mengungkapkan bahwa dalam kondisi normal, 1 (Satu) dari 3 (tiga) perempuan di dunia mengalami kekerasan. WHO juga mengungkapkan fakta dunia bahwa Setidaknya 1 (satu) dari 5 (lima) wanita menderita pemerkosaan atau percobaan perkosaan di masa hidup mereka. Angka-angka itu dapat berubah berkali-kali lipat saat perempuan menghabiskan lebih banyak waktu di rumah melalui social distancing bersama pelaku.
Sepanjang 2019 Komnas Perempuan mencatat setidaknya 11.105 kasus KDRT terjadi di Indonesia. Dapat dipastikan bahwa jumlah itu akan bertambah dengan kondisi social distancing dan dilema ekonomi dan emosional dalam keluarga. Selain itu juga, LBH Apik mencatat adanya 59 kasus kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dan online pornografi yang terjadi selama 16 Maret hingga 30 Maret 2020. Di antara kasus-kasus tersebut, 17 di antaranya adalah kasus KDRT. Menurut LBH Apik, jumlah ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan sebelum diberlakukannya himbauan social distancing. Angka tersebut merupakan jumlah kasus tertinggi yang pernah dicatat oleh LBH Apik dalam kurun waktu dua minggu. Angka itu adalah bukti nyata perlunya perhatian khusus pemerintah kepada perlindungan perempuan dari KDRT dalam masa pandemi ini.
Corona dan Kesehatan Mental Perempuan
Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tingkat bunuh dirinya didominasi oleh perempuan, yakni sebesar 4.9 orang per 100.000 penduduk. Bunuh diri di kalangan perempuan umumnya dilakukan oleh ibu rumah tangga (IRT). Hal ini diakibatkan oleh pengalaman traumatis seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, tekanan ekonomi, dan tekanan sosial.
Penerapan social distancing yang dilakukan selama wabah Covid-19 telah meningkatkan resiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan, mempersulit kondisi ekonomi perempuan, serta menegaskan status sosial perempuan sebagai subordinat, atau perempuan berada pada posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Di sisi lain, perempuan juga dianggap sebagai penjaga atau pelindung keluarga (multi peran perempuan). Hal itu secara tidak langsung menempatkan perempuan pada kondisi atau kejadian penuh tekanan dan traumatis. WHO bahkan menekankan bahwa depresi, cemas, dan gejala somatik lainnya pada perempuan sangat berhubungan dengan peran gender, stressor, dan pengalaman hidup yang buruk.
Di tengah situasi ini dan dengan skema PSBB, pemerintah harus mengambil intervensi tentang risiko kesehatan mental perempuan. Pemerintah perlu memastikan ketersediaan dan layanan kesehatan mental yang aksesibel, termasuk ketersediaan obat. Pemerintah juga harus mengantisipasi adanya lonjakan pasien yang mengakses layanan kesehatan mental karena adanya peningkatan jumlah orang yang mengalami depresi dan cemas selama Covid-19, khususnya perempuan dengan kerentanan yang telah disebutkan di atas. Selain itu, pencegahan terkait Covid-19 dan kualitas layanan kesehatan selama Covid-19 harus menjangkau panti-panti kesehatan jiwa. Pengadaan desinfektan, masker, handsanitizer dan alat-alat kesehatan penunjang lainnya harus tersedia di panti-panti kesehatan jiwa, baik yang terdaftar ataupun tidak.
—
Keenam aspek kondisi itu, kemungkinan besar akan mengubah banyak aspek kehidupan perempuan dan kelompok rentan lainnya. Maka, patut kiranya pemerintah dan DPR melihat perubahan kondisi sosial masyarakat dalam perkembangannya. Bisa saja, dari kondisi-kondisi di atas akan melahirkan kebiasan-kebiasaan baru, yang secara tidak langsung akan berdampak pada penerapan kebijakan hukum di Indonesia. Berdasarkan paparan di atas, kami Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19) menuntut pemerintah pusat dan daerah dalam penanggulangan Covid-19 untuk:
1. Menghentikan segala pembahasan Rancangan Undang-Undang bermasalah, khususnya RKUHP, RUU Omnibuslaw Cipta Lapangan Kerja, dan RUU Ketahanan Keluarga;
2. Mengambil kebijakan strategis dalam merespon Covid-19 dengan memperhatikan aspek-aspek gender dan prinsip non diskriminatif terhadap minoritas gender, termasuk menjamin ruang kepemimpinan tersedia bagi kelompok rentan;
3. Memberikan jaminan ekonomi kepada masyarakat kecil, khususnya mereka yang tidak memiliki jaminan kesehatan ataupun penghasilan tetap. sekaligus mengantisipasi terjadi PHK masal pada buruh-buruh di Indonesia;
4. Memberikan akses layanan KDRT yang mudah dijangkau, mulai dari konseling hingga tempat aman sementara bagi korban serta menghimbau pentingnya kesetaraan gender di rumah dan lingkungan umum lainnya selama ataupun setelah wabah Covid-19;
5. Memastikan ketersediaan APD untuk tenaga kesehatan perempuan dan memperhatikan aksesibilitas layanan kesehatan mental di Indonesia termasuk juga pencegahan wabah Covid-19 di panti-panti kesehatan jiwa;
—-
Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19)
PKBI, Pamflet Generasi, ICJR, ASV, Arus Pelangi, SEJUK, PurpleCode Collective, LBH Masyarakat, SGRC